15 February 2013

Dunno Wad


Rasanya aneh sekali mengetahui sesuatu yang sebenarnya sudah pernah tahu tetapi harus mengetahuinya lagi. Entah hal tersebut benar atau tidak, rasanya tidak enak. Sudah 5 hari kepala ini sakit,  bagian belakang kepala yang cenat cenut tidak karuan. penasaran, sebenarnya apa yang terjadi didalamnya. Aku... memang berbeda dengan yang lain, mungkin orang lain akan mengatakan aku ini aneh. Bahkan, saat perkumpulan beberapa orang makan bubur bersama dan aku tidak ikut makan. Mereka menertawakanku, mereka mengejekku bahkan ada yang bilang "amit-amit. Saat itu aku tidak marah atau dendam pada mereka, aku hanya tersenyum saja, terserah saja mereka berkata atau berpikir apa. Mereka hanya tahu aku sedikit saja, tetapi mereka tidak tahu hal apa saja yang telah kulalui hingga aku menjadi seperti ini. 

They know my name, not my story
They know wad i've done, but not wad i've been through

Kembali lagi ke pembahasan awal, mungkin kah ini terlalu cepat untuk memutuskan sesuatu? partner yang selama ini aku pikir adalah yang terbaik, apakah ternyata bukan orang baik? Aaahhh rasa ini mengapa muncul begitu tiba-tiba, rasa tidak percaya dan curiga terhadap sesuatu, salahkah?

04 February 2013

Puber Pertama

Hari pertama masuk sekolah di salah satu SMP di Jogja, hari dimana tepat 1 bulan aku tinggal bersama Nenekku. Demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik aku terpaksa harus berjauhan dengan orang tua. Pagi itu adalah pagi yang sudah di nanti-nanti. Sepatu baru, alat tulis baru, dan pastinya seragam baru yang tampak kedodoran (padahal sebulan yang lalu saat diukur sudah pas, tapi tidak tau kenapa setelah jadi malah kegedean). Maklum, aku ini memang agak susah makan, mungkin karna masih beradaptasi dengan masakan Nenek. Selesai sarapan aku siap untuk berangkat, pagi itu aku berjalan kaki menuju sekolah yang jaraknya sekitar 1 km. Aku berangkat bersama Ugi, teman yang kukenal saat registrasi pendaftaran sekolah dan rumahnya tidak jauh dari rumah nenekku.

Sampailah kami berdua di sekolah. Lapangan upacara sudah penuh dengan siswa, bagai lautan manusia karena seluruh siswa dari Kelas 1 sampai Kelas 3 berbaur menjadi satu. Upacara pun di mulai selayaknya upacara bendera setiap hari senin yang diadakan sewaktu di Sekolah Dasar. Kata sambutan dari Kepala Sekolah berisi ucapan selamat datang kepada para siswa baru alias siswa kelas1.

Bla..bla...bla..

Upacara selesai!

Siswa baru mulai masuk ke kelas masing-masing sesuai pembagian telah dibacakan ketika pengumuman penerimaan siswa. Aku dan Ugi melangkah menuju kelas yang tadi ditunjukkan oleh Kepala Sekolah saat mendeskripsikan tata letak kelas. "Oh nooo!!!", teriak aku pada Ugi yang selalu berada di sebelahku layaknya bayangan. Ternyata Kelas 1D itu di pojokan, dekat WC, gelap, kumuh pula dan pastinya bau!. Ruangan yang tampak lebih mirip sebuah gudang daripada sebuah tempat untuk belajar itu berhias lumut dibagian pinggir antara lantai dengan tembok, cat tembok yang lembab dan sebagian sudah mengelupas karena basah, serta atap gedek yang hampir amblas karena air hujan dari genteng yang bocor. Seandainya saja waktu itu Tante Citra Prima melihat tempat ini pastilah dia bisa melihat banyak makhluk astral didalamnya yang menurut gosip kakak-kakak kelas sebelumnya, di kelas itu sering ada penampakan sapu terbang. Hiiiiii.....!!! Om Rudi Kawilarang pun pasti setuju bila kelas itu dijadikan tempat uji nyali.

Aku dan Ugi kebagian bangku paling depan, tepatnya di baris kedua dari meja guru. Tak ada satupun orang yang aku kenal diruangan itu selain Ugi, so..selama menunggu Wali Kelas datang aku hanya mengobrol dengan Ugi, sementara siswa yang lain mengobrol dengan teman sebangku atau berjalan-jalan menuju bangku lain, hmmm...mungkin karena mereka berasal dari Sekolah Dasar yang sama, jadi sudah akrab. 15 menit berlalu, hingga akhirnya masuklah seorang Bapak yang tinggi, agak berisi, rambut beruban, dan berkacamata, berumur sekitar 50 tahunan. Dia berdiri di depan kelas menghadap para siswa dan semua siswa pun terdiam, duduk rapi memperhatikan. Dengan suara bass-nya, Bapak tadi memperkenalkan diri sebagai Wali Kelas. "Selamat pagi anak-anak!! Selamat datang di sekolah baru kalian. Nama saya Petrus Waluyo. Saya sebagai Wali Kelas 1D akan membimbing kalian selama 1 tahun, saya juga mengajar Bahasa Indonesia untuk Kelas 1 dan Kelas 3". Seluruh siswa pun tepuk tangan, entah karna riang atau karna bingung harus berkata apa. Hehehe... Lalu pak Petrus pun mengabsen satu persatu muridnya dengan menggunakan sapaan mas untuk nama laki-laki dan mba untuk nama perempuan.

Mulai dari absen dengan huruf abjad A, …dst.

"Mas Susanto!"

"Hadir pak", teriak Susanto dari bangkunya.

Aku selalu mencari arah suara dari setiap jawaban absensi Pak Petrus sambil menyimpan nama dan wajah teman-teman sekelas di memori otakku.

"Mba Sita!"

"Saya pak", teriak Sita.

….. dan tiba saatnya:

"Mas Tessa V.... H....."

"Sa..sa...saya Pak", teriak Aku malu-malu dengan suara lirih sambil mengangkat telapak tangan. Gerrrr....satu kelas pun tertawa terbahak-bahak. "Lho.. maaf, ini nama perempuan toh, saya kira laki-laki. Hehehe", lanjut pak Petrus sambil tertawa mengikuti irama tawa satu kelas.



Semakin hari aku semakin mengenal teman-teman sekelasku. Meskipun aku belum bisa berbahasa Jawa (bicara), tapi setidaknya aku mulai mengerti apa arti dari setiap kata yang diucapkan teman-teman. Selama Kelas 1 aku selalu duduk sebangku dengan Ugi, jajan saat istirahat dengan Ugi, berangkat dan pulang sekolah dengan Ugi, ijin ke toilet juga selalu dengan Ugi (tapi ga satu kamar mandi lho ya, cuma ijinnya aja minta ditemenin), bahkan saat ada kakak kelas 3 yang PDKT dan tiap pulang sekolah ngajak pulang bareng pun, aku selalu dengan Ugi. Ini kejadiannya lucu banget, PDKT itu berlangsung sekitar 3 bulan dan selama itu pula aku, Ugi dan mas Puru selalu pulang sekolah bersama. Meskipun mas Puru itu naik sepeda, tapi dia rela menuntun sepedanya hanya untuk pulang jalan kaki bersama. Dia pernah protes, “Kenapa sih kamu selalu pulang bareng Ugi? Aku kan Cuma mau ngobrol sama kamu aja.” Aku jawab, “Biarin, kan kasian dia, masa gara-gara ada kamu trus aku biarin dia pulang sendiri. Teman macam apa aku ini.” Akhirnya mas Puru, cowo cakep tinggi putih yang jadi idola para cewe di sekolahan itu ga pernah protes lagi soal hal tersebut dan kita pun tetap pulang bersama, bertiga!. Biasanya kita jalan dengan posisi Ugi di sebelah kiriku dan mas Puru di sebelah kananku sambil menuntun sepeda Polygon abu-abu-nya. Suatu hari saat kita pulang sekolah dan melewati sebuah peternakan ayam, di balik semak-semak terdengar bunyi krasak-krusuk, kita bertiga kaget dan terdiam. Lalu “Hwaaa…..!!!”, sontak kita teriak dan lari kocar-kacir karena di kejar anjing. 


Hubungan aku dengan teman-teman sekelas cukup baik, terutama dengan Ugi, Wuri, Aris, Teguh, Santo, Ardhi, Wanto, dan Tri. Ugi, udah jelas dia kan selalu ada dimanapun aku berada; Wuri, teman sebangku mulai Kelas 2 sampai Kelas 3; Aris, sekretaris plus bodyguard-ku yang selalu menjaga dan membantuku; Teguh, teman akrabnya Aris secara rumah mereka tetanggaan jadi kemana-mana selalu berdua, udah kaya orang pacaran. Teguh adalah guru bahasa Jawa-ku, meskipun dia lahir di Bogor tapi dia mahir bahasa Jawa; Santo, dia penghubung kita dengan Dwi si anak paling pintar di kelasku, tapi sayangnya dia pendiam. Jadi semisal ada tugas yang susah dan Santo udah dapat jawaban dari Dwi, nanti Santo yang bagikan jawaban ke geng kita; Ardhi, lucu nih anaknya. Suka ngebanyol. Pertama kenalan ama dia, pas kelas 1, aku di ece-ece “bayi” gara-gara aku selalu bawa botol minuman yang mirip dot kalau ke sekolah; Wanto, agak pendiam orangnya, kecil putih, teman-teman bilang dia mirip Jimmy Lin; Tri, kebetulan di kelas ada 5 orang yang namanya Tri. Tri Anita, Tri Antoro, Tri Hartini, Tri Hartati, Triwiyanto. Nah, Tri yang dimaksud disini adalah yang terakhir. Tri dipilih sebagai Ketua Kelas karena dia berbadan tinggi besar diantara siswa lainnya di Kelas 1D, anehnya dia ga berani sama aku yang berbadan kurus kerempeng (saat itu). Kejadiannya saat hari pertama masuk di Kelas 1, saat Pak Petrus menyuruh Tri untuk mencatat siswa yang keluar dari bangkunya selama Pak Petrus rapat. Saat itu aku ngeyel, aku berjalan ke meja Rina untuk meminjam tipe-x. Tiba-tiba dari arah belakang, temanku memukul dengan gagang sapu ijuk, sontak aku kaget dan langsung mengejarnya, merebut sapunya dan memukulinya dengan sapu tersebut secara membabi-buta. Teman-teman sekelas hanya melihat saja, tanpa melerai, mereka malah bersorak-sorak layaknya supporter gladiator. Drama pun selesai, kami kembali ke tempat duduk masing-masing. Pak Petrus masuk ke dalam ruang kelas dan menanyakan pada Tri, siapa saja siswa yang keluar dari bangkunya dan Tri pun menjawab dengan terbata-bata “Ng..ng..ngga ada pak”. 11 tahun kemudian Tri sempat meneleponku dan menyatakan perasaannya yang dia simpan sejak dulu, dia minta maaf karena baru bisa mengatakannya karena dulu tidak berani dan merasa canggung. Aku hargai pernyataan dan keberaniannya, meskipun aku tidak bisa membalas perasaannya.

Diantara geng kami ada beberapa orang yang menjadi PKS (Petugas Keamanan Sekolah lho ya, bukan nama partai. hehehe), mirip Polisi Sekolah, yaitu aku, Teguh, Wanto, dan Tri. Kami berempat terpilih karena saat Kelas 1 Cawu 1 kami masuk ranking 10 besar. Untuk menjadi PKS, kami dilatih selama 2 minggu full oleh beberapa orang Polisi. Tugas kami mirip Polisi Lalu Lintas, yaitu menjaga lalu lintas pagi (jam masuk sekolah) dan lalu lintas siang (jam pulang sekolah). Kami dipinjami seragam dari sekolah lengkap dengan atributnya setiap kali kami piket. Aku bangga menjadi PKS, piagam PKS dari Kepolisian masih aku simpan rapi, bahkan aku laminating.

Dulu, tak perlu khawatir ketinggalan pelajaran saat aku dapat jatah piket PKS karena selalu ada Aris yang bersedia dengan senang hati mencatat materi dari guru di buku-ku. Semisal materi itu di dikte (bukan di tulis di papan tulis) dan Aris tidak sempat mencatat di buku-ku karena dia harus mencatat di bukunya sendiri, maka dia akan membawa pulang buku-ku dan mengembalikannya besok pagi lengkap dengan catatan materi dari guru dan dari dia sendiri. Lho? Iya, biasanya dia menulis PS di bagian bawah halaman, contohnya : “Belajar yang rajin, jangan nonton TV mulu!!!” atau “You are my best friend forever” atau digambari kartun yang lucu-lucu. Teguh juga hobinya menggambar, sampai sekarang aku masih ingat hasil gambarannya di buku PPKn-ku yang dipinjamkan perpustakaan untuk siswa dan harus dikembalikan saat siswa naik kelas. Gambar Es ….. *sensored* hehehe… Kadang dia juga jadi sekretaris-ku saat Aris tak masuk sekolah, tapi hal itu jarang terjadi. Bisa dibilang buku tulis-ku itu tak ada yang rapi, berantakan tulisannya karena didalamnya bukan hanya tulisan tanganku, tapi tulisan Aris, Teguh atau yang lainnya, plus disertai gambar-gambar ga jelas, tetapi tetap Aris yang paling banyak. Perkenalan dengan Aris diawali dengan ejek-ejekan sepatu. Waktu Kelas 1 sepatuku sama merk-nya (beda model) dengan sepatu Aris, tetapi Aris menganggap sepatunyalah yang paling bagus. Kerjaan kita setiap hari adalah ece-ecean sepatu dan saling menginjak sepatu satu sama lain. Tepat 3 Desember 1997, Aris berulangtahun ke-13 dan aku iseng dengan memberinya kado 3 bungkus permen Bentos yang aku beli sehari sebelumnya di warung dekat rumah nenek saat aku di suruh nenekku membeli bohlam 5 watt. Permen itu aku masukkan ke dalam kardus bohlam dan keesokan paginya aku berikan ke Aris. Tak kusangka kado itu sangat berarti baginya (dia mengatakan itu dalam surat yang dia berikan saat kelulusan SMP). Sejak pemberian kado itu, dia tak pernah lagi mengejek/ menginjak sepatuku dan sejak saat itu pula dia selalu menjaga dan membantuku. Sebenarnya aku dan semua anggota geng-ku juga selalu bermain bersama teman-teman lainnya, hanya saja kami selalu kompak dan selalu bersama kemana-mana, makanya aku sebut sebagai “geng” meskipun kita tak pernah menyatakan diri untuk membentuk geng. Misalnya saja saat ada teman sekelas yang sakit atau membutuhkan bantuan, aku dan geng-ku menengok bersama-sama. Kita memang usil, tetapi tak pernah merugikan oranglain. Kita tak pernah bolos, tapi kalau contek-contekan sih iya, kadang-kadang, itu pun cuma beberapa soal aja. Kenakalan kita hanya sebatas rame di kelas dan masuk ke kelas lewat jendela sehabis olahraga di lapangan belakang sekolah.

Berikut beberapa kegiatanku selama SMP :

PKS
Anggota PKS yang berjumlah sekitar 40 siswa yang diambil dari siswa dengan ranking 10 besar dari 4 kelas. Kami berlatih setiap hari selama 2 minggu setelah pulang sekolah (kalau tidak salah mulai jam 3 – jam 5 sore) di halaman belakang sekolah. Materi dan prakteknya tentang baris-berbaris dan dasar-dasar peraturan lalu lintas (fungsi dan manfaat rambu-rambu). Salah satu diantara Polisi yang mengajar, ada Polisi muda (aku lupa namanya). Tanpa sengaja aku sering lihat dia sedang memperhatikan aku, sepertinya dia suka padaku (PeDe dikit gpp yah). Niat jahilku muncul, bukan untuk hal yang buruk, hanya test case. Aku mengajak beberapa orang teman cewe berjalan mendekatinya dan berpura-pura kepanasan. “Aduh Kak, kita cape plus kepanasan..boleh istirahat dulu ga? Haus banget”, kataku sambil menyeka keringat. Dia tampak salting dan akhirnya menjawab “Oke, kalian boleh istirahat 10 menit”. Kami pun akhirnya bisa ngadem dulu setelah 1 jam kepanasan. Aku pun berteduh di bawah pohon di pinggir lapangan, tak lama kemudian Polisi muda itu mendekatiku dan menyodorkan sebotol air mineral. “Ini buat kamu”, katanya. “Ahaa!! tebakanku ternyata benar”, kataku dalam hati.

Ekskul Badminton
Jujur, aku ikut ini karena Aris juga ikut ekskul ini. Sebenarnya pengen ikut teater, sayangnya tidak ada.

Pramuka
Aku sangat suka kegiatan Pramuka dan aku memiliki semua atribut Pramuka yang lengkap sejak SD. Pramuka itu penuh dengan kegiatan petualangan. Jiwa bertualangku turun dari darah mama yang mengalir deras ditubuhku. Oiya, Pramuka di SMP ku itu sering sekali melakukan kunjungan ke SMP lain, sehingga aku punya banyak teman di luar SMPku. Sebut saja namanya Bayu, dia menitipkan surat pada teman sekelasku yang isinya mengajak berkenalan dan disitu dia menulis bahwa dia tahu aku saat Regu Pramuka Sekolah-ku berkunjung ke Sekolahnya.

Bakti Husada
Sebenarnya kegiatan ini mirip dengan Pramuka, tetapi lebih ke arah kesehatan, bukan petualangan dalam bahasa Inggris sering disebut scout medical and emergency unit. Waktu itu, kelas 2 SMP aku ikut lomba Bakti Husada bersama beberapa teman yang terpilih dari sekolahku. Kami latihan bersama teman-teman yang terpilih juga dari SMP lain di Lapangan Puskesmas Kecamatan setiap jam 3 sore. Kami diminta untuk berlatih formasi, setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Aku dapat tugas di lini depan sebagai penerima tamu dan memberikan sambutan selamat datang dengan menggunakan bahasa bendera, yaitu Semapur.

Penyuluhan Kesehatan
Waktu itu setiap sekolah di Kabupatenku diminta untuk mengirimkan wakilnya ke Dinas Kesehatan Kabupaten untuk mengikuti penyuluhan kesehatan remaja, kalau tidak salah temanya tentang Narkoba dan Seks Bebas. Aku dan Vika (siswa kelas 1B) menjadi wakil dari sekolahku untuk hadir di acara tersebut. Kami berdua diantar menggunakan mobil sekolah ke Dinas Kesehatan Kabupaten dan pulangnya di jemput lagi, enak banget kan? Padahal tugas kita hanya mendengarkan, makan snack dan dapat uang transport Rp20.000,- setiap kali datang. Kegiatan itu berlangsung sekitar 4 bulan (1 Cawu). Setelah mengikuti kegiatan tersebut, aku dan Vika diminta untuk mensosialisasikan kepada teman-teman Kelas 1 sampai Kelas 3 mengenai Dampak Negatif dari Narkoba dan Seks Bebas.

OSIS
Sempat dijadikan kandidat sebagai Ketua OSIS, tapi aku menolak. Hanya sebentar aku ikut di organisasi ini, aku merasa tidak nyaman ikut di dalamnya, mayoritas isinya kakak kelas yang bergaya sok-sokan, maaf ya bukannya bermaksud ngece.

Bahagianya kalau ingat masa SMP dulu. Sekolah itu tempat bermain, sisanya? tempat belajar. Sekarang sudah sangat jarang bertemu mereka, Ugi sudah sibuk mengurus kedua anaknya; Wuri dan Santo entah dimana keberadaannya; Tri sibuk berkarir di Karawang; Aris meninggal karena kecelakaan motor; Ardhi meninggal setelah operasi usus buntu; Wanto menjadi salah satu korban yang tewas terperangkap di dalam bunker saat Merapi meletus tahun 2006 silam. Lalu Teguh? kemana dia? nah, itu dia setelah 11 tahun tidak bertemu, akhirnya tahun 2011 dia datang menemuiku dan melamarku.. ternyata sudah sejak SMP dia memendam rasa. Hehehe.. menakjubkan!! bisa selama itu memendam rasa. Sekarang dia udah menjadi imam di rumahku (dibaca: suami). Ya, begitulah hidup tidak pernah ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi di kemudian hari. So, yang perlu dilakukan hari ini adalah terus BERBUAT BAIK, coz hari ini akan menjadi sejarah di masa yang akan datang.


To all my friend, I love u guys!!! ^_^


Berhijab? Siapa Takut!

Berhijab. Sebenarnya sudah sejak lama aku memikirkan hal ini, tapi saat itu belum tahu kapan akan direalisasikan. Aku sendiri masih bingung apa perbedaan antara jilbab, kerudung dan hijab, adakah yang bisa memberitahuku?

Oiya, kalau pashmina sih aku tahu, kain panjang gitu kan. Soalnya waktu pas nenek pulang naik haji, aku dikasih oleh-oleh itu. Setahuku sekarang yang sedang nge-hits adalah hijab, bahkan sampai ada sebutan hijaber. Sebelum berhijab, aku memang suka mengikuti acara-acara pengajian di kompleks perumahan tempat aku tinggal, meski acara tersebut hanya sebulan dua kali. Saat itu aku lebih sering mengenakan pashmina, karena simple, tinggal dililitkan saja, beres deh. Nah, entah kenapa tak ada angin tak ada hujan, ketika tanggal 10 Muharam Tahun 2012 aku memakai jilbab ke acara syukuran Studio Dance (padahal lagi puasa lho, jadi cuma datang aja, gak ikut makan) dan kuputuskan mulai hari itu aku berjilbab/berhijab/apalah ya sebutannya, pokoknya menutup rambut dan memakai baju tertutup. Keputusan itu aku ambil secara sadar, sesadar-sadarnya, bukan karena paksaan oranglain dan bukan pula karena terpengaruh oranglain.
 
Begitulah ceritanya. Mungkin bagi oranglain postingan ini tak penting, tapi bagiku ini sebagai pengingat bahwa 10 Muharam adalah titik balik-ku untuk menjadi manusia yang lebih baik.

01 February 2013

Bizarre Love [NOT] Triangle


Asal Muasal
Pagi itu, Via kesiangan sampai di kantor. Sebenarnya bukan hanya pagi itu saja, tapi memang sudah menjadi kebiasaan. Itu pun tetap terjadi meski dia sudah berusaha bangun lebih pagi. Setelah absen di finger scanner, dia menuju ke ruangannya, menyapa beberapa teman satu ruangan sembari menyalakan komputer. Satu lagi kebiasaan yang dilakukan Via adalah dia bekerja sambil memakai headset di kedua telinganya, alasannya simple, dia hanya ingin berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Musik di playlist Blackberry mulai berputar, tiba sampai pada lagu Bizzare Love Triangle. Tiba-tiba, ada pesan BBM yang masuk.

Banyu Abank: "Lagunya bagus ya… (*_*)"

"Hmm… ini BBM siapa? apa mungkin salah satu temanku ada yang mengganti nama contact-nya?" Pikir Via sambil membalas "Iya, emang bagus. Maaf, ini siapa ya?"

Banyu Abank: "Aku Tri."

Via: "Tri siapa? Temanku yang namanya Tri, banyak."

Banyu Abank: "Kamu gak kenal aku."

Via: "Lhaaa trus ini Tri siapa? kok bisa masuk di kontak BBM-ku?"

Banyu Abank: "Aku juga gak tahu. Aku baru beli BB, eh ternyata di list contact ada namamu."

Via: "Aneh banget! Emang kamu beli BB dimana?"

Banyu Abank: "Di Jalan Godean"

Tanpa terasa sudah 2 minggu berlalu. Setiap hari BBM-an diisi dengan sapaan atau obrolan tentang kegiatan yang dilalui, bahkan “Banyu Abank” mengganti namanya menjadi “Banyu Biru” hanya karena dia tahu bahwa Via menyukai warna biru. Lama-kelamaan dia pun mengaku siapa nama aslinya, yaitu Tito.


First Sight
Pada suatu waktu Tito pernah menulis "How beautiful u r V" di status BBM-nya. Entah maksudnya apa, Via pun tak menanyakannya. Sampai tiba saat mereka bertemu di bandara untuk pertama kalinya. Saat itu Via baru mendarat dari Jakarta dan Tito berjanji untuk menjemputnya. Tito bilang akan menjemput dengan motor, maka Via pun berjalan ke arah parkiran motor. Tak lama kemudian BBM dari Tito masuk. Dia menyuruh Via untuk menunggu di lobby bandara saja, tidak perlu menunggu di parkiran motor. 10 menit berlalu, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Via berdiri di depan lobby bandara sambil memperhatikan setiap motor yang lewat hingga sebuah mobil Daihatsu Sirion biru berhenti tepat di depan lobby. Keluarlah seorang cowok ABG berperawakan tidak terlalu tinggi, memakai jeans, berkaos dan berkulit putih.

"Kamu Via?"

"Iya!"

"Aku Tito," sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, lalu mengangkat koper Via dan menaruhnya di kursi belakang.

Via pun masuk ke mobil setelah Tito membukakan pintu depan disamping driver. Mereka meninggalkan bandara dan langsung menuju rumah Via yang lokasinya tidak begitu jauh dari bandara. Sebagai ucapan terima kasih, Via men-traktir Tito makan nasi goreng di dekat rumahnya. Obrolan malam itu hanya seputar identitas diri. Tito sempat mengeluarkan SIM dan menunjukkannya ke Via.

Nama: Tito R. Tri Hutomo
Tanggal lahir: 5 Oktober 1990

Haaahhh... masih muda sekali, selisih 5 tahun denganku.” Via membatin.

Selesai makan dan mengantar Via pulang ke rumah, Tito pun pulang.


Kejanggalan di Mulai
Keesokan paginya, seperti biasa Tito menyapa Via di BBM. Semua tampak baik-baik saja sampai ada BBM dari seseorang bernama Ben*.

*1 bulan yang lalu Via pernah meminjam mobil dari sebuah rental atas rekomendasi  adiknya, karena rental tersebut lebih murah dibandingkan dengan yang lainnya. Ketika mengembalikan mobil, Via bertemu seseorang yang pernah dilihatnya di kantor saat orang tersebut mengantar pesanan ATK. Ben, itu namanya. Ternyata selain bekerja di toko ATK, dia juga bekerja di rental tersebut. Mereka pun mengobrol untuk beberapa saat dan bertukar PIN BB*

"Cieee...yang kemarin dijemput pake Sirion."

Via kaget! Darimana Ben tahu soal hal itu.
"Kok tahu, kamu kenal sama Tito?"

"Ooh.. kemarin aku lagi nganter cewekku ke bandara."

"Masa sih? kenapa gak nyapa?"
Via merasa ada sesuatu yang disembunyikan.

"Gak enak, takut ganggu."

"Ihhh… aneh banget, kalau mau nyapa ya nyapa aja, toh aku gak lagi sibuk."

"Gak ahh… takut cewekku marah."

"Oooh… anggota cowok takut pacar toh, kesian amat!"

"Bukan pacarku sih, aku juga baru kenal. Aku lagi marahan sama pacarku, ya sudah aku kenalan aja sama cewek lain. Sebenernya lebih cakep pacarku, tapi cewek yang ini tajir. Kan lumayan. Ya udah, aku anter aja ke bandara."

Via merasa ada maksud tertentu dari Ben, kenapa tiba-tiba dia BBM dan menceritakan sesuatu yang pribadi. Apa mungkin Ben menyindir seseorang atau berniat memberitahukan tentang perilaku seseorang?
"Iiihh… Jahat banget sih jadi orang! Mentang-mentang marahan sama pacarnya, malah selingkuh sama oranglain. Parahhh!!!

"Hahaha..."

BBM-an pun berhenti.

Perasaan Via menjadi sangat kuat, dia merasa yakin bahwa hal ini ada hubungannya dengan Tito. Via pun memutuskan untuk men-delete Tito dari list BBM-nya. Via sangat tidak men-tolerir, apabila ada temannya yang berbohong.
Apa yang terjadi???
Tak sampai 1 menit setelah Via menghapus Tito dari BBM-nya, status BBM Ben berubah menjadi:
"Wah ada yg kelabakan gara-gara BBM-nya di delete. Sampai nangis-nangis juga gak akan aku kasih lagi PIN-nya."

Wow...!! Via tercengang, ternyata dugaannya benar. Ben dan Tito saling mengenal. Semalam, Tito berencana hari ini akan menjemput Via sepulang dari kantor. Namun, Via terlanjur kesal gara-gara BBM-an dengan Ben dan secara sepihak dia berencana membatalkan pertemuan tanpa memberitahu Tito. Seusai jam kerja Via langsung pulang ke rumah. Jam 7.30 malam terdengar ketukan pintu ruang tamu, Via membukanya dan ternyata..... Tito yang datang.

"Ngapain kesini? ternyata kamu sama Ben berencana ngerjain aku kan? Males aku temenan sama tukang bohong!!" Teriak Via tanpa tedeng aling-aling dan tanpa mempersilakan Tito masuk.

"Tunggu dulu Vi, aku bisa jelasin semuanya. Kasih kesempatan aku buat jelasin. Aku tadi nyariin kamu di parkiran kantor, aku tungguin, tapi kamu gak ada. Aku mau BBM juga gak bisa, karena kamu hilang dari list contact, makanya aku kesini untuk ketemu dan jelasin semuanya." Kata Tito membela diri.

"Udah, pulang aja sana! Emang sengaja aku hapus contact-mu dari BBM. Aku udah tahu semuanya, gak perlu dijelasin lagi." Kata Via sambil mencoba menutup pintu yang terbuka ke arah luar.

"Pliisssss Vi, dengerin aku dulu. Sumpah demi apapun aku gak ada maksud buat ngerjain kamu. Kalau emang aku ngerjain, ngapain aku harus tetep nungguin kamu di parkiran kantor, ngapain aku sedih pas kamu delete contact-ku, ngapain juga aku sampai kesini dan berniat jelasin semuanya." Kata Tito sembari menahan pintu agar tidak ditutup.

Akhirnya Via memberi kesempatan Tito untuk menjelaskan. Setelah mengobrol sebentar di depan pintu, akhirnya mereka pun pergi naik motornya Tito ke Omah Semar, tempat makan di jalan Melati Kulon. Sesampainya di Omar Semar, Tito mengakui bahwa dirinya memang mengenal baik Ben dan dari Ben lah dia mendapat PIN BB Via.

"Maafin aku, Vi. Aku emang kenal sama Ben. Kita sama-sama investasiin mobil direntalan. Dia tahu kalau kemarin aku jemput kamu di bandara, karena kemarin aku pakai mobil yang ada di rental." Kata Tito menjelaskan.

Trus, kenapa Ben cerita soal cowok yang udah punya cewek lagi berantem sama cewek-nya, trus iseng cari cewek lain yang tajir buat menghibur?" Tanya Via penasaran.

"Aku sama sekali gak tahu maksud dia cerita begitu." Jawab Tito mencoba membela diri, tapi tidak menjelaskan apapun.

"Gak mungkin! Pasti ada maksud dia cerita begitu. Aku tegaskan ya, aku paling gak suka punya teman tukang bohong! Lebih baik jujur, meski itu pahit." Via menjadi sedikit emosi.

"Sumpah, aku gak tahu maksudnya dan aku juga gak ada maksud untuk bohongin atau ngerjain kamu." Tito menjelaskan dengan terbata-bata dan matanya mulai berkaca-kaca.

Sejak awal BBM-an dengan Tito, Via mengetahui bahwa Tito sudah memiliki pacar dan Via menghargai keterbukaan itu. Bagi Via informasi tersebut penting, karena dengan begitu dia bisa tahu bagaimana harus bersikap.

"Trus, apa kamu lagi berantem sama pacarmu? Jujur aja, seburuk apapun kejujuran itu aku lebih menghargainya daripada kebohongan putih." Via bertanya lagi karena masih tidak yakin. Hatinya berkata bahwa pasti ada hubungan antara kejadian pertemuan di bandara kemarin dengan kata-kata Ben.

"Nggak, hubunganku sama pacarku baik-baik aja. Emang komunikasi kita akhir-akhir ini gak begitu bagus, karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi gak tahu kenapa sejak aku kenal kamu, aku santai aja meskipun diperlakukan begitu. Aku sama sekali gak ada maksud buat ngerjain kamu. Sumpah! Sekarang kamu pikir, kalau emang aku mau ngerjain ngapain aku tetap datang ke kantormu padahal BBM-ku udah di delete. Trus, ngapain juga sampai aku bela-belain datang ke rumahmu." Masih dengan terbata-bata Tito menjelaskan, namun kali ini air matanya mengalir membasahi pipinya.

Via pun luluh, hampir saja dia juga ikutan meneteskan air mata, tetapi tidak jadi. Akhirnya setelah makanan mereka habis, mereka berdua meninggalkan Omah Semar dan menuju rumah sahabat Via untuk mengambil sesuatu. Hanya sebentar saja, lalu Tito mengantar Via pulang.


Acara di rumah Tito
Untuk beberapa waktu mereka tidak bertemu sampai akhirnya pada suatu hari Tito memberi kabar akan melakukan kegiatan sosial dan butuh bantuan untuk mengambil makanan yang akan dibagikan. Kebetulan sore itu Via tidak lembur, jadi dia menerima ajakan Tito. Jam 4 sore Tito datang dengan mobil yang dipinjam dari saudaranya. Mereka pun melaju dengan cepat menuju beberapa tempat untuk mengambil pesanan makanan, lalu bergegas ke tempat kegiatan karena acaranya sudah hampir dimulai.
Acara berlangsung dengan lancar. Karena tempat acaranya tidak jauh dari rumahnya, Tito mengajak Via untuk bertemu kedua orangtuanya. Via sendiri tidak mengerti maksud dari ajakan Tito. Awalnya dia menolak ajakan itu, karena dia merasa tidak enak, tidak pantas dan tidak kenal dengan orangtua Tito. Namun, Tito terus membujuknya dan meyakinkan bahwa orangtuanya tidak keberatan. Well, akhirnya Via menerima ajakan itu.

Sesampainya di rumah Tito, benar saja, Via disambut hangat oleh kedua orangtua dan adiknya. Mereka pun makan malam bersama. Semua tampak baik-baik saja sampai akhirnya Via merasa tidak nyaman karena ucapan ayahnya Tito.

"Berapa bersaudara?'' Tanya ayahnya Tito.

"Dua, pak." Jawab Via.

"Wah, bapaknya takut miskin ya? kok anaknya cuma dua." Ayahnya Tito mengomentari.

"Hfffttt... kok aneh banget sih komennya." Via tidak menjawab, hanya tersenyum dan membatin.

Makan malam selesai. Ayah, ibu dan adik Tito sholat maghrib di mushola rumah yang terletak di lantai satu. Anehnya, ibunya Tito menyuruh Via untuk sholat di mushola lantai dua. Via menurut saja, dia naik ke lantai 2 dari rumah besar dan panjang yang hanya dihuni oleh 4 orang itu. Via pun sholat bersama Tito di mushola lantai 2.

Via pamit pulang. Namun, sebelum mengantar Via pulang, Tito mengajak Via untuk mengembalikan mobil saudaranya yang tadi dipinjam dan sekaligus mengambil motornya yang dititipkan disana. Di rumah saudaranya Tito, Via bertemu dan dikenalkan dengan 3 orang, yaitu paman, bibi, dan neneknya.

Nah, kalau cari pacar yang kayak gini. Tinggi.” Celetuk neneknya yang masih terlihat kuat, meski sudah duduk di kursi roda.

Via hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Urusan pengembalian mobil sudah selesai. Tito pun mengantar Via pulang, mampir membeli pizza, lalu mengantarkan pizza tersebut ke rumah mbak Dina, teman kantor Via. Saat di tempat pizza, Tito agak sedikit “aneh”, tingkah lakunya seperti orang yang belum pernah masuk dan makan pizza disana. Via jadi teringat kata-kata Ben, sejenak dia merasa kata-kata itu benar, tapi ah mungkin saja itu salah. Via mencoba menghilangkan dugaan itu dari pikirannya.Keesokan paginya mbak Dina bilang "Kalian mirip lho..."


Hari ulang tahun kakaknya Tito.
Tito meminta bantuan Via untuk membawakan kue tart ke rumah kakaknya yang sedang berulang tahun, karena dia kesulitan untuk membawanya sendiri dengan menggunakan motor. Usai membeli tart di salah satu toko kue terbesar di kota ini, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah kakaknya Tito. Sama seperti di rumahnya, sambutan hangat pun terasa lagi, kakaknya menyambut dengan ramah. Usut punya usut, berdasarkan obrolan dengan kakaknya, ternyata mertua kakaknya itu masih punya hubungan saudara dengan tetangga neneknya Via. Entah bagaimana menjelaskannya, agak rumit memang. Tak lama setelah makan malam dan sholat maghrib, Tito dan Via pamit pulang. Mereka berdua pulang melewati arah lain, bukan jalan yang sama ketika berangkat tadi. Mereka sempat mampir untuk membeli geblek *makanan yang terbuat dari tepung kanji yang di goreng* dan bakso di dekat Stasiun.


Berbuka puasa dengan Tiwi
Tiwi adalah sahabat Via. Mereka berdua berencana untuk buka puasa bersama di suatu restoran cepat saji di salah satu Mall. Tiwi mengajak adik pacarnya, dan Via mengajak Tito. Namun, kebetulan sekali hari itu ayah Tito akan berangkat ke Jakarta naik kereta dan Tito diminta untuk mengantarnya ke Stasiun. Via sudah mengatakan pada Tito untuk tidak memaksakan diri bila memang tidak bisa datang.

Kalau gak bisa datang, gak usah dipaksakan, toh ini bukan acara penting.

Gpp, beib. Nganter bapak kan cuma bentar aja, paling juga sebelum buka puasa aku udah sampai di Mall.” Balas Tito lewat BBM.

Benar saja, sekitar 5 menit sebelum buka, Tito sudah sampai. Padahal jarak dari Stasiun ke Mall sekitar 29 km dan dia hanya butuh waktu 15 menit. Via curiga, bagaimana bisa dia secepat itu, sementara jalanan pasti sangat macet menjelang berbuka? Lupakan sejenak, akhirnya mereka berempat buka puasa bersama.


Tito Diputusin pacarnya
Suatu malam, Tito menelepon Via sambil menangis tersedu-sedu.
Vi, aku putus sama pacarku.

Lho, kenapa? Kalian berantem?

Iya. Dia mutusin aku, karena dia sudah punya laki-laki lain yang lebih pintar dan lebih mapan, sementara aku, kuliah aja belum lulus.

Waduh, kok begitu. I’m sorry to hear that. Sabar ya, udah gak usah nangis, gak usah sedih, kan teman-temanmu banyak.

Hmmm… Makasih ya, Vi.

Sebenarnya Via merasa aneh dengan kejadian ini, kenapa tiba-tiba pacarnya Tito minta putus. Via ragu antara harus berpikir positif bahwa hal itu memang seharusnya terjadi atau berpikir negatif bahwa Tito menginformasikan putus agar bisa lebih dekat dengannya ???


Keanehan Semakin Kentara
Waktu terus berjalan, pertemanan antara Via dan Tito pun semakin akrab, bahkan mereka saling memanggil “beib”. Seperti ada ikatan saling membutuhkan antara keduanya, namun Via merasakan kejanggalan dari beberapa tingkah laku dan perkataan Tito. Misalnya saja, setiap jam 7 sampai jam 10 malam, Tito menghilang bagai ditelan bumi dan terbenam bersama matahari. Tidak ada BBM, SMS apalagi telepon saat jam-jam tersebut. Terkadang ada juga kata-katanya di BBM yang tidak sinkron dengan kenyataan. Bukan hanya sekali, bahkan lebih dari 10 kali Via men-delete Tito dari list contact BBM-nya tapi akhirnya mereka bisa BBM-an lagi karena Tito selalu meng-invite-nya kembali. Via juga pernah mengatakan pada Tito untuk tidak menemuinya lagi, but it doesn’t work.
Tito menjadi sering terlihat cemburu saat handphone Via berbunyi, entah ada BBM/ SMS/ Twitter pasti Tito selalu ingin tahu, “Dari siapa?” “Itu siapa?” “Kok BBM-nya kayak gitu?” Selalu saja ada pertanyaan, sebenarnya Via agak risih dengan sikap possessive Tito.


Sepatu Kappa Putih
Beib, ada tamu yang nyarter mobilku. Lusa aku mau nganter mereka keliling Jogja, boleh pinjam sepatu Kappa-mu yang putih?

Hmmm… coba deh besok, kira-kira aku pakai ngga. Kalau ngga ya pake aja.
Entah kenapa terlintas dipikiran Via bahwa Tito mengincar sepatunya, karena beberapa kali dia memuji sepatu itu sambil berkata “kayaknya kalau buat aku, cocok nih...

2 hari kemudian pagi-pagi sekali Tito ke rumah Via untuk mengambil sepatu.
Ini sepatunya, dijaga baik-baik ya, jangan sampai kotor/ rusak!

Siaaaap beib, tenang aja sepatunya akan aku balikin utuh.

Beberapa hari kemudian Tito menghubungi Via lewat BBM.
Beib, nanti siang pas istirahat aku ke kantormu ya. Mau balikin sepatu. Sekarang sepatunya masih aku jemur.

Okay, beib. Kabarin aja kalau udah sampai parkiran, nanti aku turun.

….
….
Beiiiiiiibbb, aku udah sampai parkiran.

Yoiii.. wait a minute!
Via pun turun dari kantornya yang berada di lantai 3 dan langsung menuju ke parkiran.

Ini sepatunya, makasih ya beib, pas banget ukurannya di kakiku. Udah aku cuci juga lho ini…” Kata Tito sambil mengulungkan sepatu yang dibuntel kresek.

Syukurlah kalau emang pas, berarti ukuran kaki kita sama donk. Waah..makasih juga udah dicuciin. Trus gimana kemarin acaranya, jalan-jalan kemana aja?” Tanya Via sambil menerima buntelan sepatu itu.

Tamu-ku kemarin tuh satu keluarga. Ayah, ibu, dan 2 anak. Anaknya masih kecil-kecil, lucu. Mereka terlihat seperti keluarga yang bahagia. Mereka aku antar ke Keraton, Pantai Parang Tritis, Toko Souvenir, Malioboro, Alun-alun dan Candi Borobudur. Pas lihat mereka turun dari mobil, begitu sampai di salah satu tempat wisata, ayah dan ibunya menggandeng anak-anak mereka, tiba-tiba aku membayangkan kalau itu kita, beib. Aku pengen kayak gitu, pasti bahagia banget rasanya.

Wow, so sweet banget ya mereka. Hehehe… pasti bikin semua orang ngiri. Oiya, maaf, aku harus segera balik lagi ke kantor, takut dicariin pak Bos.

Oke beib, aku juga mau ke Kampus.” Kata Tito sambil memutar balik motornya.

Hati-hati ya!” Via melambaikan tangan sambil berjalan meninggalkan parkiran.


Syuting Acara Kantor
Waktu itu semua karyawan di kantor Via diminta untuk menghadiri acara talkshow dari sebuah Stasiun TV lokal guna membahas kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan tempat Via bekerja. Via berangkat bersama temannya satu kantor, tapi saat pulang Tito sudah menunggunya diparkiran dengan mobil. Padahal sebelumnya Via sudah bilang pada Tito untuk tidak menemuinya lagi, tapi sepertinya larangan itu tidak dipedulikannya, dia tetap datang menjemput. Akhirnya Via pulang bersama Tito.


Pertengkaran di Lampu Merah
Malam itu Via kerja lembur, dia baru pulang sekitar pukul 9 malam. Tak seperti malam-malam lainnya dimana Tito selalu menghilang saat pukul 7 – 10 malam, malam itu Tito menghubungi Via.
Beib, udah pulang belum?

Belum, bentar lagi. Ini masih ada laporan yang harus diselesaikan.

Tapi tadi udah sempat makan kan, beib?

Udahlaahh…. kan dipesenin makan malam sama kantor.

Syukurlah, nanti kalau udah mau pulang kabarin ya.

Sekitar 15 menit kemudian.
Aku udah mau pulaaaaaang \(^_^)/

Oke beib, aku jemput ke sana ya…

Ngga usah, aku berani pulang sendiri.

Hmmm…

Via pun membereskan mejanya dan berjalan turun dari kantor menuju ke parkiran.
Looohh…kok udah sampai sini? Kan aku bilang ngga usah kesini, aku bisa pulang sendiri.“ Via kaget saat melihat Tito sudah nangkring di atas motornya, di parkiran kantornya Via.

Kan aku udah bilang mau jemput kamu, beib.

Akhirnya Via pulang ke rumah ditemani Tito dengan motor mereka masing-masing. Saat melewati lampu merah, mereka berhenti bersebelahan.
Kamu ngapain sih pake acara nganter segala, ini kan udah malam, ntar di cariin bapak-ibumu lho.

Kan bentar aja, lagian coca cola-ku yang dibeliin my beiby ketinggalan di rumah my beiby.

Via kaget mendengar itu, dia langsung menepi ke trotoar dan diikuti Tito.
Apaaaa??? Gara-gara coca-cola??? Jadi maksudmu nganter aku pulang cuma karena coca cola yang ketinggalan? Lagian kalau hanya coca cola aja, besok bisa aku bawain. Mau berapa krat, hah? Kamu itu laki-laki macam apa sih coca cola segitu doank aja sampe segitunya.

Lho kok kamu gitu, beib? Aku salah ya? Ya udah aku minta maaf.

Gak perlu! Ternyata kamu tuh pikirannya kaya gitu, sepatu aku, makan-makan di resto bareng aku, nyaranin beli baju kembaran 3, belanja macem-macem. Sana pulang!! Pulaaaaaaaang!!! Aku gak mau ketemu kamu lagi!

Beiiiiib, tenang dulu donk. Aku tadi tuh cuma bercanda, gak ada maksud apa-apa. Ya maaf, kalo aku salah.” Kata Tito dengan mata berkaca-kaca.

Aku capek tahu! Perasaan aku selalu mengatakan kalo kamu itu cuma ngerjain aku aja. Aku sendiri gak tau apa alasanmu melakukan ini semua. Entah ada suatu kebanggaan tersendiri atau kamu lagi bertaruh sama teman-temanmu di rentalan?” Via terus saja marah-marah tanpa peduli banyak orang yang memperhatikan mereka.

Ya ampun beib, kenapa pikiranmu sampai kesana. Aku sama sekali gak ada niat buat ngerjain kamu. Udah beib, ayo pulang, gak enak tuh dilihatin banyak orang.”

Bodo amat!! Kalo kamu malu, sana pulang aja, gak usah ngurusin aku!” Via geram.
Heehh… Apa lo liat-liat, gue hajar tahu rasa!” Teriak Via pada seorang pria di mobil pick up yang memandanginya dari sejak lampu menyala merah sampai lampu sudah menjadi hijau.

Iya, aku akan pulang, tapi aku nganter kamu dulu sampai rumah. Aku mau mastiin kamu baik-baik aja sampai di rumah.” Kata Tito perlahan, diikuti air mata andalan yang mengalir membasahi pipinya.

Satu jam berlalu, marah via mulai mereda. Akhirnya Tito mengantar Via sampai rumah, lalu dia pun langsung pamit pulang.


Acara Kampusnya Tito
Tito mengabarkan bahwa besok kampusnya akan mengadakan acara talkshow tentang pariwisata. Pihak kampus ingin acara tersebut dihadiri banyak orang, setiap siswa diminta untuk mengajak teman-temannya. Syaratnya mudah, cukup memakai jas almamater kampus saja. Keesokannya, Tito datang ke rumah Via sambil membawa jas almamater milik kakak angkatannya yang sudah lulus dan mereka pun berangkat ke “TKP”. Suasana di gedung itu ramai, banyak dosen dan teman-teman kuliah Tito. Via merasa asing, kikuk lebih tepatnya, bagai penyelundup yang mencoba “biasa” di lingkungan yang “tidak biasa”. Tito sepertinya menyadari hal itu, dia berusaha membuat Via tenang. Dia selalu berada di sebelah Via tanpa mempedulikan sekitar, padahal Via sudah mempersilakan Tito bila ingin membaur, mengobrol atau bertegur sapa dengan teman-temannya sebelum acara dimulai. Namun, Tito terus saja disamping Via sampai acara selesai.
Acara berjalan lancar, berlangsung sekitar 1 jam. Semua orang tampak berjalan keluar dari ruang pertemuan menuju aula depan. Disitu, seorang dosen mengumumkan kepada semua mahasiswa untuk malam malam bersama di sebuah restoran. Akhirnya mereka pun berangkat beramai-ramai dengan kendaraan masing-masing.
Sesampainya di restoran, Via dan Tito duduk di paling pojok, tepat di depan dosen yang tadi memberi pengumuman. Via semakin merasa tidak nyaman, tapi apa boleh buat, kursi yang kosong hanya tinggal itu saja. Sambil menunggu makanan, orang-orang saling mengobrol satu sama lain. Tito pun mengajak ngobrol Via, dia sama sekali tidak menghiraukan teman-temannya, hingga mendadak sebuah suara terdengar…

Mbak, angkatan tahun berapa?” Tanya Dosen yang duduk tepat di depan Tito, tiba-tiba.

Via kaget, bibirnya yang semula bergerak karena sedang ngobrol dengan Tito mendadak bungkam, matanya langsung melirik kearah Tito dan jantungnya serasa berhenti beberapa detik.
Waduuhh, pasti pak Dosen curiga kalau aku ini penyelundup.” Via membatin.

Belum sempat Via berkata, Tito langsung menjawab sambil menepuk pundak Via.
Oohh…dia ini angkatan tahun 2007, Pak.

Pasti bukan anak kampus kita, ya?” Pak Dosen bertanya lagi sambil tersenyum.

Hehehe…iya, bukan, Pak.” Kata Via sambil membalas senyuman itu dan berusaha menutupi ke-grogi-annya.

Iya, Pak. Dia bukan dari kampus kita. Dia sengaja saya ajak buat nambah peserta.” Tito langsung menyambar.

Makanan datang. Setelah selesai menyantap dan melahap semua makanan yang tersaji, mereka pun pulang.


Kopeng
Kantor Via mengadakan pelatihan di daerah Kopeng, sekitar 3 jam perjalanan kalau dari Jogja. Waktu itu Tito menjemput dan mengantar Via sampai ke parkiran kantor, karena pihak kantor sudah menyediakan bus untuk transportasi. Sehari sebelumnya, Tito menyarankan agar Via tidak usah berangkat dengan bus, tapi dengan motor saja. Dia berniat untuk mengantar Via, namun Via menolaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, saat hari H dia malah mengikuti bus Via sampai ke Kopeng. Walhasil, semua teman sekantor Via mengetahui sosok Tito dan gara-gara itu Via menjadi hot gossip. 

  
Jas Hujan dan Tas
Hari itu tanggal merah, langit di atas rumah Via masih gelap, antara gelap karena terlalu pagi atau gelap karena sisa hujan semalam. Tito menghubungi Via, dia mengatakan sudah menunggu di depan rumah Via. Tanpa persiapan, akhirnya Via pergi bersama Tito. Tito akan mengantar Via untuk melihat matahari terbit. Di tengah jalan, awan mendung yang tadinya tidak ada mendadak mendekat dan berhenti tepat diatas kepala mereka berdua. Hujan pun turun dengan derasnya. Mereka menepi sebentar didepan sebuah rumah dan berencana melanjutkan perjalanan setelah memakai jas hujan. Tito membuka bawah jok motornya untuk mengambil jas hujan, namun seketika itu Via terkejut. Jas hujan Tito, basah!

Lho, kok jas hujannya basah?” Tanya Via penasaran.

Ehmm… itu…itu bekas kemaren lusa, lupa gak aku jemur.” Tito menjawab.

Via diam dan membatin, aneh sekali, tidak mungkin itu basah sejak kemarin lusa, karena basahnya benar-benar kuyup seperti terkena hujan semalam. Tapi, Tito semalam BBM kalau dirinya tidak pergi kemana-mana, dia di rumah saja dan dia “menghilang seperti biasanya” (tidak membalas BBM) dengan alasan sibuk mengaji.
Via tak mau memperpanjang masalah itu. Meskipun semua tampaknya baik-baik aja, tapi sebenarnya Via menyimpan semua keanehan yang terjadi selama ini di otaknya. Perjalanan pun dilanjutkan walau harus dengan ber-jas hujan ria.
Sesampainya disana, mereka duduk diatas pasir, memandangi mentari yang mulai terbit dari ufuk timur sambil mengobrol tentang masalah pribadi masing-masing. Tito duduk sambil memangku tas-nya, tas yang selalu dibawa kemana pun dia pergi. Selama ini Via tak pernah merasa se-curiga pagi itu. Tanpa dugaan Tito, Via langsung merebut tas itu dan menariknya. Awalnya Tito biasa saja, tapi saat Via akan membuka retsleting tas tersebut, Tito langsung menarik tasnya kembali. Via semakin curiga, ada apa sebenarnya di dalam tas itu. Via menariknya lagi dan Tito pun menahannya. Saat Via menanyakan mengapa tas itu tidak boleh dibuka, Tito tidak mau menjawabnya. Dia tiba-tiba berkata ingin ke kamar kecil karena perutnya sakit. Dia pun berlari kearah toilet sambil membawa tasnya. Sekitar 15 menit, dia keluar dan berlagak seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dia mengajak ngobrol Via dan mencoba merubah tema agar Via tidak menanyakan lagi apa isi tasnya. Via pun malas untuk mengungkitnya kembali. Akhirnya mereka pulang. Tanda tanya di pikiran Via pun menjadi semakin besar. Banyak keanehan yang terjadi, namun Tito tak mau menjelaskannya dan dia selalu bersikap seperti tidak ada apa-apa.


THE DAY
Sore itu adalah sore yang cerah, langit biru dihiasi beberapa awan putih. Sang mentari masih terlihat meski bersembunyi malu-malu di balik awan sebelah barat, bahkan pelangi pun tak ingin kalah eksis muncul setelah hujan siang tadi.

Tiba-tiba BBM Tito masuk, “Hei beib, lagi apa?

Hmm…lagi siap-siap mau ke supermarket, mau belanja bulanan.” Jawab Via.

Ya, udah…hati-hati ya di jalan.

Okay!

Via mengendarai motornya menuju sebuah supermarket. Sesampainya disana, dia memarkir motornya, langsung masuk ke supermarket dan mulai memilih barang. Supermarket ini terkenal murah, sehingga antrian di kasir bisa sangat panjang, terutama saat “tanggal muda”. Via menyusuri supermarket mulai dari pintu masuk sampai rak terakhir yang ada di dekat kasir. Sesampainya di kasir, antrian begitu panjang, masih ada 9 orang dideretan kasir tempat Via mengantri. Kasir di sisi yang lainnya pun sama, penuh semua.

Sambil menunggu antrian, untuk mengusir sepi, Via nge-BBM Tito.
Kamu lagi apa? Udah mandi blm?

Tito pun membalas.
Baru bangun tidur neh…belum mandi.

Lha, perasaan 30 menit yang lalu BBM aku, kok sekarang bilangnya baru bangun tidur?” Tanya Via lagi.

Sambil menunggu balasan BBM, Via maju selangkah demi selangkah di dalam antrian tersebut sambil mendorong trolley-nya sembari mencocokkan belanjaan yang ada di dalam trolley dengan daftar yang ia tulis.
Hmmm…antriannya membuat Via haus, dia meninggalkan trolley-nya dan berlari melewati rak parfum lalu berbelok kearah lemari pendingin untuk mengambil minuman, kemudian segera kembali menuju arah kasir melewati jalan yang berbeda. Dia berlari melewati rak shampoo, saking terburu-burunya, tanpa sengaja dia menabrak punggung orang yang sedang memilih shampoo. Via ingin segera meminta maaf pada orang itu, namun belum sempat dia mengeluarkan suara, orang tersebut berbalik badan kepadanya. Bagai petir di siang bolong yang tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba menggelegar. Orang yang Via tabrak adalah Tito. Tito pun sama terkejutnya dengan Via, dia sama sekali tak bersuara.

Yang, jadinya kamu mau beli yang mana?” Suara itu keluar dari mulut seorang perempuan yang berdiri di sebelah Tito yang tampak sibuk memilih shampoo yang ada di rak.

Belum cukup Via dikagetkan dengan keberadaan Tito di supermarket tersebut, dia pun dikagetkan lagi dengan suara perempuan itu. Via dan Tito diam seribu bahasa, hanya mata mereka yang berbicara, namun Via segera meninggalkan Tito dan segera kembali ke antriannya. Setelah selesai membayar, Via pun pulang ke rumah. Pikiran dan perasaannya menjadi kacau. Kesal, karena merasa dibohongi, tetapi di sisi lain juga senang karena dugaannya selama ini benar. Tuhan tak pernah tidur dan kebenaran pasti akan terungkap. Dan dia yakin kalau hari ini Tuhan telah menunjukkan kebenaran yang selama ini telah di nantinya.


6 jam kemudian BBM Tito masuk.
Hey beib, sorry tadi aku di suruh mama beli shampoo, eh terus ketemu sama mantanku di lampu merah. Kebetulan dia juga mau ke supermarket, ya udah jadinya kita bareng. Ini aku baru aja pulang acara karang taruna.

Via tak membalas BBM itu. Dia masih kesal. Dia paling tidak suka dengan orang yang sudah berbohong padanya. Semua keterangannya terasa sangat janggal. Mulai dari BBM yang bilangnya baru bangun tidur; cerita soal disuruh beli shampoo sama mamanya (padahal jarak dari rumah ke supermarket sekitar 18 km); kalaupun katanya itu sudah mantan, kenapa dia tidak mengejar Via saat di supermarket; dan kenapa setelah 6 jam dia baru memberi kabar.
Hari-hari selanjutnya, Tito terus berusaha menghubungi Via melalui BBM, SMS, YM, dan telepon, tetapi Via tidak mempedulikannya. Hingga di suatu malam terdengar suara bel rumah berbunyi, Via mengintip dari balik jendela.

Vi, aku tahu kamu di dalam. Tolong bukakan pintunya, aku mau menjelaskan semuanya.

Gak usah jelasin apa-apa, aku udah tahu semuanya.” Teriak Via dari dalam rumah.

Okay! Aku gak akan pulang sebelum kamu kasih kesempatan aku buat ngomong.

Hfftt… Via pun tak punya pilihan lain, daripada anak orang dibiarkan sampai pagi dipinggir jalan, akhirnya dia membukakan pintu pagar. Tito berjalan perlahan masuk ke teras dengan lunglai sambil tangannya meraba-raba tembok, seolah dia tak kuat berjalan.

Beib, kamu kemana aja? Kenapa gak balas semua pesanku?” Katanya dengan suara lemah.

Gak apa-apa, cuma lagi malesss aja!

Kok kamu gitu, emangnya aku salah apa sama kamu? Kamu tau gak, kalau aku kemarin di rawat di rumah sakit. Aku drop, badanku lemes banget, sampe bapakku dan orang rumah pada panik

Lha, malah nanya salahmu apa. Salahmu ya gak menyadari kesalahanmu itu!!! Masuk rumah sakit? Mana kutahu, kan kamu gak ngasih tau.

Emang aku salah apa?

Lha ya apa, kamu pikir aja sendiri.

Aku gak tahu beib, kamu bilang dong, salahku itu apa?

Hrrrrr…kamu itu bikin sebeeelllll. Kenapa sih pake acara bohong segala. Toh, aku gak masalah kamu mau pergi sama temenmu, mantanmu atau malah pacarmu, tapi tuh jujur doooong. Aku paling gak suka sama orang yang tukang bohooooong!

Aku gak bohong, beib. Kan waktu itu di BBM aku udah cerita dan semua yang aku katakan itu benar adanya.

Gak mungkin! Mana ada orang beli shampoo jauhnyaaaa… Emang di dekat rumahmu gak ada warung?

Itu beneran aku disuruh mama beli shampoo, sebelumnya mantanku ngehubungin aku, dia minta ketemuan. Ternyata dia menyesal dan dia minta balikan, tapi dia bilang itu pas setelah belanja dan nganter aku beli tas.

Nah kaaaann… beda lagi ceritanya. Kemarin bilangnya gak sengaja ketemu di lampu merah. Mana yang benar? Apalagi itu dia minta balikan, kamu kali yang minta balikan atau jangan-jangan kalian emang gak pernah putus???

Bener, beib… dia itu ngajakim balikan, bahkan dia udah pernah ngelamar aku.

Hah, kaya orang Padang aja, cewek yang ngelamar. Dia kan orang jawa!

Tapi emang begitu. Kalau kamu gak percaya, telepon aja bapakku.

Ogah! Aku gak ada urusan sama bapakmu.

Ya udah, yang penting aku udah cerita semuanya sejujur-jujurnya.

Jujur? Sumpah demi apa, kalau itu semua jujur???

Tito terdiam, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Badannya gemetaran dan nyaris ambruk. Entah itu acting atau beneran. Badan Via juga mendadak lemas dan mau pingsan, namun Tito segera memeganginya. Aneh, padahal tadi Tito terlihat lunglai, tapi tiba-tiba menjadi cekatan saat “menyambar” badan Via supaya tidak jatuh, bahkan kuat menggendong Via sampai ruang tamu.


Telepon Misterius
Beberapa hari kemudian, saat itu hari minggu, Via menghabiskan waktu seharian hanya dengan tidur. Pekerjaannya di kantor sangat membuatnya lelah, apalagi laporan-laporan akhir tahun yang harus selesai segera, sesuai deadline.
You on your knees begging please… stay with me, but honestly I just need to be a little crazy…..” telepon Via berdering, membangunkannya dari tidur siang itu. Dengan mata yang masih berat untuk di buka, dia berusaha mencari asal suara sambil meraba tempat tidurnya, sampai tangannya berhenti dibawah bantal dan menemukan handphone-nya. Tanpa melihat telepon tersebut dari siapa, dia menekan tombol accept.

Halo… Assalamu’alaikum, apa betul ini Via?” Terdengar suara perempuan menyapa dan bertanya.

Via kaget dan membuka matanya, lalu menjauhkan telepon dari telinganya sesaat untuk memperhatikan nomor masuk yang tertera di handphone-nya. Tidak, dia tidak mengenal nomor itu.
Wa’alaikumsalam. Ya, benar. Ini siapa ya?” Via menjawab.

Aku Cinta, mantannya Tito.

Oohh... Ada apa ya, mbak?

Hmmm…nggak, aku cuma mau ngejelasin aja kalau waktu itu aku sama Tito nggak sengaja bertemu dan akhirnya kita pergi bareng. Aku udah ga ada apa-apa lagi kok sama dia, jadi kamu gak perlu berpikiran lain.

Oohh gitu. Terserah deh kamu mau bilang apa, tapi aku sama sekali gak peduli. Aku udah muak dengan semua kebohongan ini.”

Ya udah kalau gitu, aku cuma mau menyampaikan itu aja. Tolong Tito dimaafkan ya.

Gak tahu deh!

Maaf udahan dulu, aku ada kerjaan lain. Assalamu’alaikum.

Wa’alaikumsalam.

…dan telepon pun terputus.
Semua ini menjadi semakin aneh, waktu itu Tito bilang mantannya mengajak balikan, tapi hari ini mantannya malah menelepon dan memohon agar Tito dimaafkan.

Sorenya Tito BBM dan menanyakan apakah mantannya sudah menelepon atau belum, kali ini Via membalasnya.

Beib, tadi Cinta telepon kamu?

Hmmm…iya, tadi ada yang telepon ngaku namanya Cinta.

Kaaannn..bener. aku sama dia tuh udah gak ada apa-apa.

Aneh! Kemarin kamu bilang dia ngajak balikan, lha sekarang dia kok malah telepon aku bilang gak ada apa-apa sama kamu. Aneh! Semuanya gak masuk akal. Udah deh, kamu ngaku aja. Gak capek apa bohong terus?

Ya ampun beib, bohong apa sih. Aku tuh udah cerita sejujur-jujurnya, gak ada yang aku tutupin.

Kalau gitu, apa kamu berani sumpah kalau semua yang kamu ceritakan itu adalah yang sebenarnya?

Via menunggu balasan dari Tito, tetapi tak ada balasan sama sekali. Via baru ingat kalau ternyata waktu sudah menunjukan lewat dari jam 7 malam. Seperti biasa, jam segitu Tito akan lenyap.


Selamat Tinggal, Tito…
Setelah SMS terakhir yang tak dibalas, Tito menghilang bagai ditelan bumi. Lost contact. Seminggu kemudian, pagi itu jam 8.20 handphone Via berbunyi, ternyata ada SMS dari Tito yang isinya seperti tak pernah ada kejadian apapun. Innocent.

Beeeeeeeeiiiiiiibbbbbbbbbb, kangen my beiby.

Via tak membalasnya hingga sore ada SMS lagi dari Tito.

Beeeeeiiiibbbbb, my beiby baik-baik aja kan?

Sama seperti sebelumnya, Via pun tak membalas SMS Tito. Namun, dia tak menyerah, dia pun SMS lagi jam 10 malam.

Beeeeeeiiiiiibbbbb… I’m sorry I’m crying beib

Aku kangen bangeeeeeet sama my beiby, trus air mataku mengalir, beib…

Dan keesokan paginya, Tito pun SMS lagi.

Beib, I realized that I’m truly love you… Maaf beib, kalau aku punya banyak kekurangan.

Via masih belum mau membalas SMS Tito. Sebenarnya Via kesal bukan karena Tito kembali dengan pacarnya atau Tito bertemu dengan pacarnya, tetapi Via merasa Tito terlalu sering berbohong padanya. Via sangat trauma dengan kebohongan. Hal itu pernah terjadi pada dirinya saat masih duduk di bangku kuliah, saat dia sangat percaya dengan sahabatnya yang telah lama dikenal baik, namun ternyata membohonginya hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Seandainya saja Tito mengatakan yang sebenarnya sejak awal, mungkin Via tak akan kesal dan masih tetap mau berkomunikasi.
3 hari kemudian, Tito kembali mengirimkan SMS ke Via sekitar jam 5 sore.

My beiby tuh gak salah sama sekali, my beiby sama sekali gak nyusahin aku, malah my beiby yang memberi arti dihidupku, my beiby yang udah kasih semangat, my beiby yang pokoknya my beiby udah memberi warna dalam hidupku. Aku seneeeeeeeng banget bisa bertemu my beiby…

Via masih belum membalas SMS itu, Tito pun masih tak mau menyerah dan dia terus saja SMS.

SMS ku gak nyampe ya, beib? My beiby kemana aja?

SMS ku gak nyampe ya, beib????????

My whole live is for you, beib…

My beiby, you are the strongest woman I ever met, beib…

I wish I could beside you whatever you feel, beib… when you happy, when you sick, when you sad, I wanna be there, beib…

Aku udah memutuskan untuk menyerahkan semua hatiku dan cintaku ke my beiby… Makasih untuk semuanya ya, beib…

Semua SMS yang udah aku kirim, itu semua bukan kebohongan, tapi emang yang sebenarnya aku rasakan, beib… Kalau pengen sumpah, aku juga berani, coz itu emang yang sebenarnya…

I wont to hurt you, beib…

SMS ku masuk gak sih, beib…

Beeeeeeeeeiiiiiibbbb… Aku udah ceritakan apa yang terjadi dan yang aku rasakan, semua perkataanku itu benar adanya. Janjiku yang udah terucap itu gak akan berubah sampai kapanpun…

Beeeeeeeeiiiiiiiibbbbb…

Beeeeeeiiiiibbbb…. Kemana sih beib?

Maaf beib, tapi aku gak akan bahagia, karena semua yang aku punya udah aku serahkan ke my beiby… Makasih juga untuk rasa ketidakpercayaan yang udah my beiby kasih ke aku… My beiby cewek yang kuat, lebih kuat dari bayangan my beiby sendiri… And you wanna leave me???

Aku akan selalu ada disamping my beiby… Aku lebih memillih my beiby sampai saat ini, ataupun besok, besoknya lagi, besoknya lagi, besoknya lagi, sampai habis nafasku pun aku tetap memilih my beiby…

My beiby sekarang udah ngerti apa yang aku rasakan???? Jadi my beiby pengen pergi ketika tahu perasaanku gimana???? My beiby tahu rasa sakitku gimana????

Beeeeeeeiiiiiiiibbbbbb… Gak mau balas SMSku ya, beib????

Beeeeeeeeiiiiiiibbbbb… My beiby kemana?????

I’ll always love you beib, day by day, week by week, month by month, year by year…

You’ll see the proof…

I wanna marry you… How do I know, my beiby gak ada kabar. Aku terkapar di rumah 3 hari my beiby gak tahu kan, sampai orang rumah bingung.

Setelah hampir 1 bulan Via tak membalas, akhirnya dia pun membalas karena kaget membaca kata “terkapar”.

Hah, terkapar kenapa?” Via membalas SMS.

Aku juga gak tahu, beib… Dadaku rasanya sesak, my beiby gak pernah balas SMS-ku.

Lho, bukannya itu salahmu sendiri, kenapa pake acara bohong.

Aku gak bohong beib, aku udah ngomong apa adanya.

Ya ya ya…terserah aja kalau begitu, hanya kamu dan Tuhan yang tahu apakah itu semua benar atau hanya dusta. Aku akan meninggalkan kota ini besok pagi, naik kereta jam 8 dan entah akan kembali kapan. Maaf, jika selama ini aku udah bikin kamu sakit, udah bikin kamu repot dan maaf juga kalau ada kata-kata atau sikap yang gak berkenan. Terima kasih untuk semuanya.

Beeeeeeeeeeeeiiiiiiiibbbb…Kok gitu???????????? Kamu gak serius kan?????????

Keesokan paginya, Via sudah siap dengan semua barang bawaannya. Dia menunggu taksi di teras, 5 menit kemudian taksi pun datang dan dia langsung meluncur ke stasiun.
Tak lama setelah sampai di stasiun, kereta yang akan ditunggu pun tiba. Orang-orang berebut untuk masuk ke dalam kereta, Via membaur dengan kerumunan itu. Saat dia sedang sibuk mencari gerbong yang sesuai dengan tulisan yang ada di tiketnya, tiba-tiba handphone Via berbunyi. Ada SMS masuk.

Beib, lihat ke arah jam 11 sekarang!

Itu SMS dari Tito. Via mencoba mengikuti apa yang tertulis di SMS tersebut dan ternyata tanpa disangka Tito datang ke stasiun. Dia berdiri tepat di arah jam 11 dari tempat Via berdiri. Dia ada dibalik pagar sebelah luar stasiun. Wajahnya yang tampak masih ngantuk itu berusaha untuk tersenyum. Via membalas senyuman itu sambil meneruskan langkahnya ke gerbong yang dia tuju, dia tahu waktunya tak lama karena sebentar lagi kereta akan berangkat dan tak mungkin ada waktu untuk berpamitan langsung dengan Tito. Via memasuki gerbong dan mencari tempat duduk. Dia meletakkan barang bawaannya dan duduk didekat jendela. Dari situ bisa terlihat Tito masih memandanginya. Via pun melihatnya, melihat Tito dengan jelas karena jarak antara gerbong tempat Via berada tak terlalu jauh dengan pagar. Rambut Tito yang berantakan, matanya yang sayu berkaca-kaca dan jaketnya yang tampak pudar karena sering terkena panas matahari begitu jelas terlihat. Pandangan matanya seolah-olah berkata “Jangan pergi”. Namun, kereta mulai berjalan perlahan meninggalkan Tito yang sedang berdiri di luar pagar stasiun, kedua tangannya memegang erat pagar dan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi tampak mendesak keluar, hingga mengalir membasahi kedua pipinya. Via pun tak kuasa melihat hal itu, dia pun ikut meneteskan air mata seiring berjalannya kereta yang bergerak semakin cepat hingga Tito sudah tak terlihat lagi. “Entah kau telah membohongi aku atau tidak, tapi maaf, aku harus melakukan ini, aku harus pergi, karena perasaanku mengatakan inilah satu-satunya cara yang terbaik.” Kata Via dalam hati sambil mengusap air mata yang mengalir dipipinya.
Seperti itulah mereka berpisah dan setelah itu tak pernah ada lagi komunikasi diantara keduanya. Bagai embun yang menguap terkena sinar matahari pagi, hilang mengudara membaur bersama angin. 




VuL oF LuV