15 January 2014

Sehari Sial 3 Kali



Pernah ga sih kalian mengalami kesialan yang bertubi-tubi?
Pasti rasanya ga enak banget kan, ya?

Ini terjadi di suatu hari saat aku masih duduk di bangku kuliah. Berikut tokoh-tokoh yang ada dalam cerita ini:
Aku, itu udah pasti.
Diah, teman SMA yang ga sekelas tapi lumayan akrab.
Ucok, dipanggil begitu karna dia berasal dari Medan. Orangnya “selengek’an” padahal dia mahasiswa kedokteran. Ga kebayang deh gimana kalo dia jadi dokter beneran. Aku kenal dia pas sama-sama ngantri audisi AFI 3 di GSP UGM.
Ari, dia teman SMA-nya si Ucok.

Hari sebelumnya si Ucok nelpon ke kosan.
“Cha… besok ada kul ga?”

“Ga ada. Mang napa?”

“Temen SMA gue dari Cirebon lagi maen nih ke Jogja. Dia pengen jalan-jalan ke pantai. Kan ga enak kalo cuma berdua, lo bisa kan ikutan juga? Biar rame!”

“Uhmm..gimana ya… Oke deh, tapi gue ajak temen ya! Kan ga enak kalo gue cewe sendirian.”

“Ya udah ajak aja, asal dia punya motor ya, soalnya gue boncengan ama temen gue.”

“Siaappp bos!”

“Oke. Besok gue tunggu di depan Mandala Krida jam 8 pagi.”

Abis nerima telpon dari Ucok, aku langsung telpon Diah. Untungnya dia juga pas ga ada kuliah.

Keesokan harinya Diah menjemputku di kos dan kami pun langsung menuju tempat janjian. Sampai disana Ucok dan Ari udah siap, kami pun berangkat. Tak lama kemudian temannya Ucok menyusul, namanya Eki. Akhirnya kami berangkat menuju Gunungkidul berlima dengan susunan:
Ari dibonceng Ucok
Diah dibonceng aku
Eki sendirian

Brummm…..
Motor melaju dengan cepat biar ga kesiangan sampai di pantai. Setelah melewati lampu merah Jl. Wonosari tiba-tiba aku melihat 2 orang polisi di pinggir jalan. Aku panik! Perasaanku mengatakan ini pasti ada razia.
“Priiiitt… silakan berbelok ke kiri dan mengantri pemeriksaan!” Begitu kata salah seorang polisi.

Tuh kaaan bener, ada RAZIA !!! Setelah melewati 2 orang polisi tadi, sebelum berbelok untuk mengikuti perintahnya, aku langsung menghentikan motor dan tukar posisi dengan Diah. Kami pun masuk ke pemeriksaan.
“SIM? STNK?” Seru salah seorang polisi.

“Ini pak!” Kata Diah sambil menyerahkan SIM dan STNKnya.

“Bukan kamu! Itu yang di belakang, mana SIM kamu?!” Kata polisi itu.

“Kan yang bawa motor temen saya, pak.” Jawabku dengan hati dag dig dug.

“Tadi kan kamu yang mengendarai motor!” Kata polisi itu lagi.

Aduuh.. mampus deh, ternyata polisi itu melihat aku dan Dia bertukar posisi. Diah bingung, aku juga bingung.
“Sa ya ga pu nya SIM, pak!” Jawabku terbata-bata.

Ucok, Ari dan Eki mencoba membantu agar aku ga kena tilang, setelah melalui perundingan yang alot dan menghabiskan waktu sekitar 1 jam. Akhirnya harus membayar denda Rp 20.000,-. Perjalanan dilanjutkan. Kali ini aku ga berani lagi bawa motor, jadi aku yang dibonceng Diah. Aku masih sedih karena kejadian tadi, sepanjang jalan aku cuma diem aja, ga seceria pas berangkat. Pemandangan yang indah dan jalan yang berkelak-kelok pun tidak aku hiraukan.

Sampailah kami di Wonosari. Ketika melewati lampu merah, kami lihat lampu masih menyala kuning (urutan nyalanya Hijau-Kuning-Merah) karena itu kami tidak berhenti. Sekitar 500 meter dari lampu merah, tiba-tiba sebuah motor polisi menyalip kami dan menyuruh kami untuk ke pos. Aku dan teman-teman bingung. Sebagai warga Negara yang baik, kami menuruti saja perintah pak polisi itu. Sesampainya di pos, kami dituduh melanggar lampu merah. Kami semua tidak terima. Perdebatan pun terjadi. Pos polisi itu letaknya di pinggir lampu merah, sementara lampu merahnya itu menghadap ke jalan (membelakangi pos polisi). Semisalnya pun kami melanggar, tidak mungkin polisi yang di pos itu mengetahui rambu tersebut sedang berwarna apa. Kami tetap bertahan dengan argumen kami bahwa kami sama sekali tidak melanggar lampu merah, saat kami lewat lampu masih berwarna kuning. Namun apalah daya kami, meskipun kami berlima dan beliau itu hanya seorang diri, tapi beliau berseragam polisi. Kami mengalah. Beliau meminta kami untuk membayar pelanggaran sebesar Rp 40.000,-/motor. Kami tidak mau! Perdebatan yang alot kembali terjadi, akhirnya kami diminta membayar Rp 80.000,- (3 motor).

Huffttt… kali ini kami meneruskan perjalanan dengan tidak bersemangat, hingga akhirnya sampailah kami di Pantai Krakal lanjut ke Pantai Kukup, Baron dan Sundak. Main air, foto-fotoan dan minum es kelapa muda rupanya mampu mengembalikan mood baik. Kami kembali ceria. Waktu sudah mulai sore, kami bergegas pulang sebelum gelap. Maklum, jalan yang akan kami lewati naik turun dan berbela-belok, sementara tidak ada lampu jalan, rumah penduduk pun jarang, kanan kiri jalan lebih banyak hutan dan jurang.

Di tengah perjalanan hari mulai gelap, maghrib tepatnya. Tiba-tiba motor Diah berasa “gliyur” (bahasa Jawa, maksudnya tidak seimbang; oleng) dan tak lama kemudian….
Hwaaaa… bocorrrr!!!
Ban motor bagian belakang menginjak paku entah dimana. Ucok, Ari, dan Eki ikut berhenti. Ari turun dari motornya dan menuntun motor Diah. Ucok tetap di motornya tapi berjalan perlahan, sementara Eki mencari bengkel tambal ban. Kalo inget kejadian itu, iiihh serem banget! Kanan kiri pepohonan, gelap, penerangan cuma dari cahaya lampu motornya Ucok. Setengah jam berjalan, Eki kembali membawa berita baik, menunjukkan arah bengkel yang buka. Kami semua menuju kesana. 1 jam kami menunggu tambal ban dan perlajanan pulang dilanjutkan kembali.

Ternyata ada hikmahnya juga ban motor bocor, sehingga kami bisa melewati Bukit Bintang pada malam hari. Dari sana terlihat warna-warni lampu di kota Jogja, hilir-mudik pesawat yang landing dan take off, tampak menyatu dengan kelap-kelip bintang di langit. Setelah melewati hari yang penuh kesialan, akhirnya kami bisa bernapas lega di pinggiran Bukit Bintang sambil menikmati jagung bakar dan kopi panas dengan sesekali bersenda gurau.


Pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini adalah jangan pernah menyerah pada keadaan. Sesulit apapun itu, pasti akan ada kebahagiaan. Semangaattt!!!
(ceile gaya banget ini kata-katanya, yakin lo? Hahaha)

"There will be sunshine after the rain"


06 January 2014

The Boys Part 3 (Kalau cinta jangan maksa)




Badanku dulu tak begini…
Tapi kini tak kurus lagi…

Kebayang ga sih tinggi 160cm dengan berat badan kurang dari 40kg?
Kurus banget kan?
Rambut panjang berponi rata diatas alis, udah mirip helm.
Kulit item ngga, putih juga ngga, tengah-tengah gitu deh.
Gaya tomboy dan sporty, lengkap dengan lesung pipi yang bener-bener ada di tulang pipi, bukan di pipi.

Kalo pas kelas 1 SMP aku ke sekolah jalan kaki or naik bus, nah pas kelas 2 udah mulai males jalan kaki. Lebih pilih naik sepeda atau naik bus. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 1km, semisal naik bus cuma bayar Rp 100,- aja. Berhubung di rumah ada sepeda punya tante yang udah usang dan tak terpakai, aku pikir kenapa ga dibenerin aja kan lumayan buat dipakai sekolah. Cling! Bukan sulap bukan sihir, sepeda federal punya tante tampak seperti baru. Cat yang mengelupas udah ga kelihatan. Awalnya warna abu-abu dan biru, berubah jadi warna abu-abu dan oranye. Lebih ceria pastinya!

Ke sekolah sambil naik sepeda rupanya lebih menyenangkan, ga terlalu cape dan lebih cepat nyampe. Sekitar 2 bulanan naik sepeda, aku baru nyadar kalo setiap mau nyebrang di depan sekolah pasti di dekat gerbang selalu berdiri seorang anak kecil. Cowo imut, putih dan yang paling mencolok adalah bibirnya yang merah merekah. Serius! Mirip ama Macaulay Culkin pemeran Kevin dalam film Home Alone. Hahaha…

Awalnya aku pikir itu suatu kebetulan aja. Kebetulan pas aku sampai sekolah, kebetulan tuh bocah lagi berdiri di depan gerbang. Tapi aneh banget kalo itu kebetulan karena kejadiannya setiap hari begitu dan sejak aku sadar kalo dia memperhatikan aku, aku pasti melihat mukanya saat melewati gerbang sekolah dan sebuah senyuman pun terpancar dari wajahnya yang imut.

Aku ga tahu dia itu siapa dan kelas berapa karena seingatku anak-anak seangkatanku (kelas 2) ga ada yang mirip dia. Rasa penasaran pun terjawab ketika salah seorang adik kelasku, yang ternyata teman sekelasnya memberikan aku sepucuk surat. Ya, lagi-lagi surat. Maklum pada zaman itu belum ada HP or BB. Hahaha…

Jam istirahat belum berakhir, aku masuk kelas dan membuka surat itu. Isinya begini :
Halo Kak, boleh kah aku berkenalan? Maaf kalau aku terlalu lancang mengirimkan surat ini.
Aku tahu aku ini masih kelas 1, tapi saat pertama melihat Kakak rasanya ada yang berbeda dan sejak saat itu, setiap pagi aku selalu menunggu kakak di gerbang sekolah.
Aku berasal dari Lampung dan saat ini aku tinggal di rumah pamanku. Berikut ini biodataku:
Nama : Doddy P. P. (sengaja aku singkat)
Alamat : …….. (di keep aja)
TTL : Lampung, 13 Desember 1987
Hobi : Main bola (whahahaha…ngekek banget baca ini)
Oiya, kalo boleh aku minta biodatanya Kakak ya, biar aku bisa mengenal Kakak lebih jauh.
Mohon maaf bila ada salah-salah kata.
NB : Aku tunggu balasannya.

(tanda tangan)
Doddy

Hadeuuhh… abis baca itu surat aku langsung ketawa cekikikan, lucu banget ada anak kecil udah berani ngirim surat, mana isinya biodata pula dan yang lebih parahnya tercantum HOBI : MAIN BOLA. Hahaha…

Teruuuss, dibalas ga suratnya?
Uhmm… dibalas donk, tapi ga pake nyantumin biodata segala. Cuma kata-kata seperlunya, yang intinya kalo mau berteman sih oke-oke aja.

Selepas dari surat itu, beberapa waktu kemudian ada surat lagi yang datang. Waktu itu yang membawa adalah salah seorang teman sekelasku.
“Nih, ada titipan dari anak kelas 2B!” Kata temanku.

“Siapa?” Kataku.

“Baca aja sendiri, kan ada namanya!” Kata temanku dengan nada kesal.

(Catatan kaki: sebenarnya temanku ini suka sama aku dan aku juga suka sama dia, tapi kami sama-sama jaim. Nah, ternyata yang mengirim surat itu (anak 2B) adalah sahabatnya. Sementara si sahabatnya ini ga tahu kalau temanku itu suka sama aku. Makanya waktu dia menyerahkan surat, tampangnya jutek banget. Hahaha…)

Untuk menjaga perasaan temanku, surat itu tidak aku baca di kelas. Aku berjalan ke belakang sekolah, depan toilet, disanalah aku membacanya. Isinya tentang pengungkapan perasaan sekaligus nembak! Tertanda Suprayitno. Hffttt… yang mana lagi ini orangnya, mana namanya terdengar ”mistis” pula. Selesai membaca, tanpa pikir panjang aku langsung mengambil segayung air dari kamar mandi. Aku celupkan surat itu sampai kertasnya hancur, lalu aku bentuk seperti bola dan ku lempar ke atas genteng sekolahan. Beres!!

Dua minggu kemudian, saat istirahat, aku lihat seorang cowo sedang mengintip di jendela kelasku dari arah parkiran sepeda (sebelah kelasku adalah parkiran sepeda). Tampaknya dia berusaha untuk memanggilku tapi aku pura-pura tidak mendengarnya, hingga beberapa temanku yang ada di kelas membantunya.
“Tes, itu dipanggil ama Prayit.” Kata salah seorang temanku.

Mau tak mau akhirnya aku menoleh ke arah cowo yang wajahnya terpampang di jendela. OMG! Jadi itu yang namanya Prayit, ga tinggi ga pendek, item dan agak gendut.
“Tes, kok suratku ga dibalas?” Kata Prayit.

“Ooh, belum sempet. Aku sibuk!” Jawabku dengan males-malesan, lalu aku menarik Ugi yang kebetulan ada disitu dan pergi ke kantin.

Beberapa hari kemudian, aku berpapasan dengan Prayit di dekat parkiran sepeda. Dia memberikan aku surat lagi. Surat kedua darinya berisi hal serupa dengan surat pertama dan surat kedua pun bernasib sama, aku celupkan ke air, aku bentuk seperti bola, lalu aku buang ke atas genteng sekolah. Karena merasa tidak nyaman ditagih terus, surat kedua aku balas. Dalam surat balasan aku menyatakan bahwa aku mau fokus belajar dan merasa lebih baik berteman saja. Setelah aku memberikan surat balasan padanya, keesokan harinya dia tidak masuk sekolah selama 3 hari berturut-turut. Salah seorang teman sekelasnya berkata padaku kalo Prayit stress gara-gara aku. Lha, kok aku? Aneh banget, itu mah dia sendiri aja yang bikin. Aku menolak bukan karna fisik lho ya, buktinya aku membuang surat pertamanya sebelum aku melihat wujudnya. Aku menolak karena menurutku isi suratnya terlalu memaksa, sementara aku aja ga kenal sama dia. Mas Sari yang udah kenal akrab aja aku tolak, apalagi ini. Ya kalo-kalo Prayit baca cerita ini, mudah-mudahan dia bisa mengerti. Piss Bro !!

Oiya, buat sekolah SMP ku…maaf kalo aku mengotori genteng. Sebenarnya bukan cuma 2 surat itu aja yang aku lempar ke genteng. Ada beberapa surat dari beberapa orang juga. Kebetulan SMP ku itu dekat ama SMK PGRI (sekolahannya mas Sari) dan SMK BOPKRI. Aku juga heran kenapa anak-anak di SMK tersebut banyak yang kenal aku, padahal aku ga pernah kenalan sama mereka dan beberapa dari mereka mengirimkan surat. Aneh-aneh deh isinya, tapi ya tetap seputaran perasaan. Berhubung aku ga kenal dan ga tau yang mana orangnya, cuma lihat namanya aja di surat, walhasil nasib surat mereka berakhir di genteng sekolahan. Hehehe…

Hikmah dari cerita kali ini adalah “Jangan terlalu memaksakan kehendak, hormatilah perasaan oranglain.”


Semua cerita tentang “Boy” ditulis kurang lebih seperti aslinya karena udah lama jadi agak lupa-lupa inget, tapi kalo intinya inget banget. Bukan bermaksud riya’ atau sombong, semua cerita ini ditulis hanya untuk mengenang masa lalu aja lho yaa...


05 January 2014

The Boys Part 2 (Ketika Cinta Tak Harus Memiliki)



Bahagianya bila bulan Ramadhan tiba. Mau tahu? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Soalnya kalo pas bulan puasa itu bisa ketemu teman-teman di masjid (selain di sekolah). Bisa piket bersihin masjid, bisa ngisi kultum sebelum berbuka, bisa buka bersama, tarawih bersama dan tadarusan bersama. Maklum, selain bulan puasa aku ga bisa main keluar, paling di rumah aja nonton tv, bersih-bersih dan belajar. Begitulah peraturannya, agak konservatif sih tapi mungkin itu demi kebaikanku juga.
Well, kalau kemarin aku udah cerita Boy Part 1 yang kejadiannya kelas 1 SMP, kali ini aku akan cerita tentang kejadian di kelas 2 SMP, tepatnya di bulan ramadhan. Di daerah tempat tinggalku ada tradisi setiap selesai sholat subuh, yaitu jalan-jalan. Pagi itu aku dan teman-teman melakukannya, kami berencana jalan-jalan dari masjid sampai lapangan bola yang jaraknya sekitar 1 km. Tak hanya gerombolan kami, ada banyak kelompok remaja lain yang melakukan hal sama juga. Setiap kelompok biasanya terdiri dari remaja seangkatan atau yang rumahnya tetanggaan. Sementara anak-anak kecil mengikuti sambil bermain petasan. Seringkali kami berpapasan dengan kelompok remaja  dari masjid lain. Tentu saja yang aku tunggu adalah saat berpapasan dengan kelompok masjid dekat lapangan bola, karena ada mas Puru. Hahaha…
Tapi Ramadhan kali ini berbeda, diantara kelompok remaja masjidku ada seseorang yang belum pernah kulihat. Siapa ya? Saat jalan-jalan itulah pertama kalinya kami bertemu. Setelah sampai lapangan bola, kami semua berbalik arah dan lama kelamaan kelompok dari masjidku pun hanya tinggal beberapa orang saja karena masing-masing langsung pulang begitu melewati rumahnya. Rumahku masih 200 meter lagi, sementara 2 orang temanku masih 300 meter lagi. Bagaimana dengan seseorang itu? Teman-temannya sudah habis, dia berjalan sendirian dan akhirnya bergabung dengan kelompokku.
“Hai dik, ikutan gabung ya… teman-teman aku udah pada pulang.” Kata dia sambil tersenyum.
Woooww… senyumnya itu lho ga nahan. Hahaha… Inget pemeran Sembara di film Misteri Gunung Merapi ga? Nah. Mirip banget tuh. Tinggi, putih, berbadan tegap, proporsional gitu deh, cowo banget pokoknya, sesuara-suaranya juga.
“Hmmm..” jawabku malu-malu sambil membalas senyumannya.
“Oiya, kita belum kenalan. Namamu siapa?” Kata dia sambil menyodorkan tangannya.
“Tessa.” Kataku.
“Sari.” Kata dia.
Dan kami pun bersalaman.
Agak aneh juga mendengar namanya, kok kaya cewe. Hahaha. Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang sekolah dan asal usul, hingga akhirnya aku tiba di depan rumah dan berpamitan karena harus pulang duluan. Waiiiittt! Kemana dua orang temanku tadi? Mau tau? Ternyata sepanjang perjalanan aku ngobrol dengan mas Sari, mereka berdua berjalan di belakangku. Oowh betapa baiknya mereka. :)
Mas Sari itu baru aja pindah sekolah ke SMK PGRI, dia ternyata keponakan dari istrinya pakdhe ku. Hmmm… saudara jauh banget berarti ya? Oiya, rumah pakdhe dekat masjid, jadi otomatis setiap aku ke masjid pasti lewat depan rumahnya. Dan karena itu pula aku dan mas Sari sering bertemu, entah saat berangkat atau pulang dari masjid. Pertemuan yang intens itu membuat kami jadi semakin akrab.
Suatu sore setelah bulan ramadhan aku bersepeda melewati depan rumah pakdhe, kalo ga salah waktu itu aku mau beli bakso. Tiba-tiba mas Sari menghentikanku, dia mengeluarkan sepucuk surat dari kantong celananya. Hah..??? Kaget! Saat itu aku bingung harus berkata apa, aku langsung menerimanya dan berlalu pergi. Buru-buru aku kayuh sepedaku, aku takut kalo ada pakdhe atau saudaraku yang melihat. Sesampainya di rumah, aku masuk kamar dan kubuka surat itu.
“Bla…bla…bla…bla…bla…………………………………………………………………………………………………………………………… Aku tahu, aku ini hanya orang biasa, tapi perasaanku padamu sungguh tak biasa. Maukah kau menjadi pacarku? I Love U so much!”
Hwaaaaaaaaaaaaaa…. Aduuuh gimana ini?? Aku ditembak!
Senang ga? Jelassss, senang bangeett secara ditembak sama cowo ganteng sixpack dan keren abiss gitu.
Berarti diterima? Nah, itu dia. Aku mungkin gampang kagum sama cowo keren, tapi ga segampang itu menerima cintanya. Aku harus tahu lebih detail dulu tentang dia, so surat itu belum aku balas. Aku mulai menjadi detektif, aku tanya beberapa temannya mengenai baik buruk sifatnya. So far so good. Rupanya sepupuku, anaknya pakdhe ku mengetahui hal ini dan dia mendukung aku untuk jadian. Kira-kira begini dia bilang:
“Udah, diterima aja. Mas Sari kan ganteng. Dia banyak fans-nya lho. Itu di kamarnya banyak hadiah dari cewe-cewe yang ngefans sama dia, bahkan belum lama ini ada cewe, teman sekelasnya, anaknya pak lurah dari daerah far far away ngasih bunga dan boneka. Terima aja sebelum keduluan sama yang lain.”
Hmmm… setelah aku pikir masak-masak, akhirnya aku putuskan untuk membuat surat balasan. Begini isinya:
“Sebelumnya aku minta maaf karena lama membalasnya. Dalam surat ini aku mau bilang kalo sebaiknya kita bersaudara aja, aku mau fokus belajar dulu. Terima kasih. Sekali lagi, maaf.”
Mungkin oranglain berpikir aku ini bodoh, orang sebaik dan sekeren itu kok ditolak, padahal cewe-cewe lain aja bersusah payah untuk mendapatkan cintanya. Haduuh gimana yaa?? Suka sih suka tapi………… Ahh, sudahlah!
Untungnya mas Sari ga marah gara-gara balasan suratku. Setiap papasan di jalan kami masih saling bertegur sapa, malah pas valentine dia ngasih aku mawar merah dan CD Stinky (Aduuh.. jadul banget yaa.. jadi ketauan deh tuanya. Hahaha..). Dia juga beberapa kali telepon ke rumah.
Saat aku kelas 2 SMA, mas Sari udah lulus SMK. Saat itu aku mulai jarang bertemu dengannya. Tiba-tiba ada seorang cewe memberikan surat, ketika aku sedang berjalan sepulang sekolah. Aku buka surat itu, isinya:
“Dik, saat ini aku sudah tidak di Jogja. Aku kembali ke kampung halamanku untuk bekerja. Aku titipkan surat ini pada sepupuku. Aku tahu ini tak mungkin, tapi perasaanku yang dulu masih tersimpan untukmu. Kali ini, mau kah kau menerimaku?”
OMG!!! So sweet banget. Lagi-lagi aku harus minta maaf, rasanya aku cuma kagum aja tapi ga sampai jatuh hati. Penolakan yang kedua pun terjadi.
Tahun berganti, aku tak pernah mendengar kabar tentang mas Sari lagi. Selepas SMA, aku melanjutkan kuliah di universitas impianku. Bertemu banyak teman baru itu menyenangkan. Baru kenal beberapa minggu saja kami sudah akrab, bahkan sudah membuat genk. Aku, Sintha, Ana, Tyo dan Erry. Kami berlima selalu bersama selama di kampus. Hari itu aku ada kuliah sore, jam 16. Kebetulan dosen Agama belum datang, anak-anak belum semua masuk kelas, masih ada yang berkeliaran di luar. Aku, Tyo dan Ana sudah duduk sebaris, kami mengobrol sambil menunggu dosen datang. Tiba-tiba Sintha berlari masuk ke dalam kelas, dia berteriak:
“Ana, Tessa, Tyo….ayo cepat keluar, ada security baru.”
“Ya ampun, emangnya kenapa kalo ada security baru?” Kata Tyo.
“Iya iih lebay banget deh, sampe segitunya.” Kataku.
Aku yang duduk paling pinggir akhirnya ditarik Sintha keluar.
“Ayo cepeett, ntar keburu pergi orangnya. Dia ganteng banget, aku tadi ga sengaja liat dia di pos security depan.” Kata Sintha.
“Lha terusss? Kenapa aku harus di tarik-tarik?” Kataku.
“Ntar keburu orangnya kabur. Aku pengen kenalan, tapi ga berani kalo sendiri.” Kata Sintha.
Sebelum sampai di pos security, begitu keluar dari pintu kampus …
Dziiing….!!!
Seorang security berdiri di depan pintu sambil mengarahkan telunjuk ke aku dan aku pun mengarahkan telunjuk kiriku padanya.
“Dik Tessa..?” Seru security itu.
“Mas Sari..?” Kataku.
Sintha yang melihat kejadian itu langsung berhenti menarikku dan melepaskan tangan kananku karena kaget. Dia celingukan, bingung.
Aku dan mas Sari saling tersenyum, belum sempat mengucapkan kata-kata lainnya, Sintha langsung memegang tanganku kembali dan menarikku ke ruang kelas. Sebenarnya aku sendiri juga shock, ga nyangka banget setelah lama ga ketemu, ehh ketemu lagi di kampus dan dia berseragam security.
“Kamu kenal security itu? Kok bisa? Dia yang aku maksud ganteng tadi.” Kata Sintha penasaran.
“Hmmm…gimana ya, ceritanya panjang. Nanti deh aku ceritain, tuuh pak dosen udah datang!” Kataku.
Akhirnya rasa penasaran Sintha terjawab setelah aku menceritakan kisah mas Sari padanya, seusai kuliah.

Saat ini setahu aku… mas Sari sudah mempunyai istri, seorang perawat dan dia juga sudah memiliki anak. Semoga mas Sari dan keluarganya hidup bahagia. Forever and after.
Dari kisah nyata diatas, dapat disimpulkan bahwa :
Dunia itu sempit
Buktinya setelah lama berpisah, eh bisa ketemu lagi. Jadi ingat kisah Tito dan Via? Di Jogja kan banyak mall dan supermarket, tapi kenapa Via bisa mergokin Tito di salah satu supermarket? Benar-benar dunia ini sempit ^-^
Jodoh itu Tuhan yang ngatur
Aku dan mas Sari itu berjodoh, buktinya setelah lama berpisah akhirnya ketemu lagi. Tapi, jodoh itu bukan berarti harus bersama/ bersatu lho ya…

Nah, buat para ababil… semoga kisah ini menginspirasi kalian. Jangan karena di tolak terus jadi patah semangat, usaha teruuuss! Tapi kalo tetap ga bisa, ya udah jangan memaksa dan jangan bermusuhan (sakit hati). Tuhan sudah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Tetap Semangat dan keep smile !!!

VuL oF LuV