25 April 2016

Memaafkan Sebelum Dimintai Maaf

Beberapa waktu lalu seorang nenek menitipkan pesan, "Tolong sampaikan pada Cha, Uti minta maaf karna dulu waktu Cha sekolah dan tinggal disini Uti ga pernah bawaain bekal."

"Uti, apapun yang Uti pernah lakukan ke aku...aku udah memaafkan dari dulu. Terima kasih untuk kebaikan Uti yang lainnya." Kata Cha dalam hati.

Tidak diperhatikan atau tidak dianggap mungkin bukan hal yang aneh, itu udah sering Cha alami sejak kecil. Disaat anak-anak lain mendapat perhatian lebih dari orangtuanya, sementara orangtua Cha sibuk dengan urusannya masing-masing. Bisa dibilang Cha kecil sudah terbiasa hidup mandiri. Dia sering mengikuti kegiatan di sekolahnya. Pramuka diikutinya sejak kelas 2 SD. Perlombaan menyanyi, PMR, dan senam SKJ hingga tingkat Provinsi. Dimana setiap Cha tampil dalam perlombaan nyanyi atau senam, orangtuanya tak pernah menontonnya padahal Cha berharap mereka men-support-nya. Hanya sekali mamanya datang menjenguk ke bumi perkemahan saat Cha ikut lomba PMR kelas 4 SD. Meski demikian Cha tetap menyayangi kedua orangtuanya. Teringat saat pembagian raport, beberapa hari sebelumnya wali kelas sudah memberikan surat edaran agar orangtua hadir untuk mengambil raport. Lagi-lagi kedua orangtua Cha sibuk dengan pekerjaannya, Cha mengintip dari balik pintu kelas...melihat semua orangtua temannya datang untuk mengambil raport anak mereka. Cha sedih..dia berdiri diluar sampai pembagian selesai. Setelah semua orangtua pulang, Cha memberanikan diri untuk masuk dan menemui wali kelas, "Bu, orangtua saya kerja jadi mereka tidak bisa hadir. Bolehkah saya mengambil sendiri raport saya?". Ibu wali kelas berkata "Surat dari ibu sudah disampaikan belum? Pertemuan tadi penting karena ada beberapa hal yang orangtua harus tahu.". "Sudah saya sampaikan, bu..". "Baiklah kalau begitu ini raportmu.". "Terima kasih, bu.". Kesedihan terobati saat Cha membuka raport dan mendapati bahwa dia ranking 2.

Cha kecil akhirnya melanjutkan sekolah ke Jogja dan tinggal bersama Utinya. Utinya terkenal sangat disiplin dan tegas. Setiap pagi Cha bangun jam 4, sholat, masak nasi, menyapu seluruh rumah, mandi, membuat sarapan (bila tidak sempat, hanya makan nasi dan kerupuk saja), lalu berangkat sekolah. Sepulang sekolah Cha makan, tidur, dan sorenya menyapu halaman, merapikan tanaman, dan momong sepupunya. Berat badan Cha turun drastis beberapa minggu tinggal di rumah Uti. Dengan tinggi 160, beratnya tidak sampai 40kg. Rok seragam sekolah semuanya kegedean. Saat SMP Cha juga sering ikut pramuka, lomba bakti husada, ekskul, dan beberapa seminar di Kabupaten. Di lingkungan tempat tinggalnya Cha juga cukup terkenal karena ikut anggota karang taruna dan sering ikut pentas teater untuk acara-acara kepemudaan, tapi lagi-lagi belum pernah ada saudara atau keluarganya yang menonton saat Cha tampil. Begitu juga saat SMA, dimana orang berduyun-duyun datang untuk menonton lomba baris berbaris.. dari awal Cha ikut lomba tonti beberapa kali sampai regunya menjadi juara 1 se-kabupaten dan juara 8 se-provinsi, belum pernah sekalipun keluarganya datang untuk men-support-nya.

Anak kecil yang butuh dukungan dari keluarga terdekat, tak bisa berbuat apa-apa. Cha always happy, dia memiliki teman laki-laki lebih banyak daripada teman perempuan. Saat SD dia akrab dengan Putri dan Egi. SMP akrab dengan Ugi dan Wuri. SMA akrab dengan Sita dan Maya. Hanya itu saja teman perempuan yang akrab, lainnya laki-laki semua. Saking banyaknya teman laki-laki tak jarang Cha mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman perempuan lainnya karena dikira akrab dengan gebetan atau pacar mereka, padahal Cha sama sekali tidak ada perasaan apa-apa. 

Ban sepeda Cha pernah dikempesi oleh adik kelas yang naksir dengan salah satu teman laki-lakinya.
Cha juga pernah dijambak, ditendang, diteror, dan dimaki-maki dengan kasar oleh beberapa perempuan yang merasa tidak suka karena Cha punya banyak teman laki-laki. Huhuhu... salahnya dimana, kan cuma berteman, no heart feeling.

Teman laki-laki hanya sebatas teman, tak lebih dari itu. Para lelaki lebih bisa bercanda daripada teman perempuan yang kebanyakan (tidak semua) terlalu sensitif.

It's okay. Aku rapopo.
Bersyukur dengan semua yang terjadi. Pengalaman membuatmu kuat!

12 April 2016

Alone

Masa kecilnya mugkin berbeda dengan masa kecil anak-anak lainnya. Mungkin lho ya, karna ga tau juga kalo ada yang mirip. Dia kecil tumbuh dalam kedisiplinan. Banyak aturan yang harus ditaati. Waktu bermain pun dibatasi. Kewajiban menjaga adiknya, belajar, tidur siang, dan beberapa pekerjaan rumah.

Kira2 saat dia kelas 1 SD.. 
Suatu sore sepulang dari pesta ulang tahun, dia, adiknya, dan beberapa teman komplek berjalan pulang menuju rumah masing2. Sebelum sampai ke rumah, ada tumpukan batu pondasi dipinggir jalan. Sang adik berlari menjauh dari rombongan dan menaiki bebatuan itu. Dia berteriak "Dee... jangan naik kesitu!"
Adiknya tak menghiraukannya. Beberapa detik kemudian....
Bruuuuggg!
Tumpukan batu yang dinaiki adiknya bergeser. Adiknya tergelincir dan dahinya terbentur batu kali yang tajam. Dia langsung berlari lalu mengangkat adiknya yang berlumuran darah menuju ke rumahnya tak jauh dari situ. Dia menangis dan sudah pasti adiknya juga.
"Mamaaa... ade jatoh!"
Mama dan papa-nya terkejut melihat anaknya sudah berlumuran darah. Mereka pun bergegas membawa adiknya ke rumah sakit. Sebelum pergi papanya sempat memarahinya "Makanya adiknya tuh dijagain, jadi kan ga sampe begini."
"Tadi udah dibilangin, pa.. adiknya ngeyel."
Papanya tak percaya, lalu mereka pergi ke rumah sakit dan meninggalkan dia sendiri di rumah. Dia menangis sedih. Sedih karena kondisi adiknya, sedih karena dimarahi, dan sedih karena ditinggal sendirian di rumah. Hari sudah hampir maghrib, kedua orang tuanya belum juga pulang, dia takut sendirian di rumah. Dia keluar dan berdiri didekat tiang listrik yang ada di samping rumahnya sambil menatap jalan berharap kedua orang tuanya segera datang. Hingga gelap pun sudah menyelimuti langit, dia masih berdiri disitu. Lalu dia memeluk tiang listrik sambil menangis, dia bingung dia harus bagaimana. Dia, seorang anak kecil yang sedang butuh pelukan hangat yang bisa menenangkannya.

Sejak kejadian itu setiap dia dimarahi orang tuanya, dia akan berlari menuju tiang listrik dan memeluknya sambil menangis.

Dia, seorang anak kecil yang ceria, yang suka beres-beres rumah, yang hobi berpetualang (itulah sebabnya dia rajin ikut pramuka), yang suka nonton MTV sejak kelas 3 SD, yang kagetan (pernah dimarahi karena kaget lihat laron hinggap di nasinya dan tanpa sengaja melepas piring yang dipegangnya hingga pecah), yang sering kena sabetan kemoceng (karena ga bisa tidur siang tapi disuruh tidur siang), yang kadang tanpa sengaja menyenggol sesuatu (lalu jatuh dan pecah, lagi-lagi kena marah meski itu saat lebaran), yang seneng bantu2 (meski pas bantu, ga sengaja malah numpahin air dan lagi-lagi kena marah), yang waktu kelas 3 SD berniat kabur dari rumah, yang jarang main dengan teman2 diluar (karena lebih sering di kamar baca Bobo).

Dia, anak yang tetap berpikir positif meski sering kena marah. Dia yang kalau sakit bisa terbebas dari omelan dan sabetan, bahkan ditawari makanan enak. Dia yang happy banget saat diajak liburan.

Dia..
Oh Dia..
Begitu banyak hal yang diterima semasa kecilnya
Dia ditempa begitu banyak dan berat untuk anak seusianya
Apa yang dialaminya membentuk dia yang sekarang

Dia sedih ketika orangtuanya lebih mengasihani oranglain daripada dirinya. Sama seperti kejadian di masa kecilnya, dimana orangtuanya lebih membela anak orang ketika dia berkelahi. Malah dia yang kena marah, padahal perkelahian itu bukan karena salah dia. Dia hanya membela diri.


Dia, sabar dia...
Sabar ya...


Dia butuh pelukan hangat orang yang tulus menyayanginya.

VuL oF LuV