01 February 2013

Bizarre Love [NOT] Triangle


Asal Muasal
Pagi itu, Via kesiangan sampai di kantor. Sebenarnya bukan hanya pagi itu saja, tapi memang sudah menjadi kebiasaan. Itu pun tetap terjadi meski dia sudah berusaha bangun lebih pagi. Setelah absen di finger scanner, dia menuju ke ruangannya, menyapa beberapa teman satu ruangan sembari menyalakan komputer. Satu lagi kebiasaan yang dilakukan Via adalah dia bekerja sambil memakai headset di kedua telinganya, alasannya simple, dia hanya ingin berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Musik di playlist Blackberry mulai berputar, tiba sampai pada lagu Bizzare Love Triangle. Tiba-tiba, ada pesan BBM yang masuk.

Banyu Abank: "Lagunya bagus ya… (*_*)"

"Hmm… ini BBM siapa? apa mungkin salah satu temanku ada yang mengganti nama contact-nya?" Pikir Via sambil membalas "Iya, emang bagus. Maaf, ini siapa ya?"

Banyu Abank: "Aku Tri."

Via: "Tri siapa? Temanku yang namanya Tri, banyak."

Banyu Abank: "Kamu gak kenal aku."

Via: "Lhaaa trus ini Tri siapa? kok bisa masuk di kontak BBM-ku?"

Banyu Abank: "Aku juga gak tahu. Aku baru beli BB, eh ternyata di list contact ada namamu."

Via: "Aneh banget! Emang kamu beli BB dimana?"

Banyu Abank: "Di Jalan Godean"

Tanpa terasa sudah 2 minggu berlalu. Setiap hari BBM-an diisi dengan sapaan atau obrolan tentang kegiatan yang dilalui, bahkan “Banyu Abank” mengganti namanya menjadi “Banyu Biru” hanya karena dia tahu bahwa Via menyukai warna biru. Lama-kelamaan dia pun mengaku siapa nama aslinya, yaitu Tito.


First Sight
Pada suatu waktu Tito pernah menulis "How beautiful u r V" di status BBM-nya. Entah maksudnya apa, Via pun tak menanyakannya. Sampai tiba saat mereka bertemu di bandara untuk pertama kalinya. Saat itu Via baru mendarat dari Jakarta dan Tito berjanji untuk menjemputnya. Tito bilang akan menjemput dengan motor, maka Via pun berjalan ke arah parkiran motor. Tak lama kemudian BBM dari Tito masuk. Dia menyuruh Via untuk menunggu di lobby bandara saja, tidak perlu menunggu di parkiran motor. 10 menit berlalu, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Via berdiri di depan lobby bandara sambil memperhatikan setiap motor yang lewat hingga sebuah mobil Daihatsu Sirion biru berhenti tepat di depan lobby. Keluarlah seorang cowok ABG berperawakan tidak terlalu tinggi, memakai jeans, berkaos dan berkulit putih.

"Kamu Via?"

"Iya!"

"Aku Tito," sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, lalu mengangkat koper Via dan menaruhnya di kursi belakang.

Via pun masuk ke mobil setelah Tito membukakan pintu depan disamping driver. Mereka meninggalkan bandara dan langsung menuju rumah Via yang lokasinya tidak begitu jauh dari bandara. Sebagai ucapan terima kasih, Via men-traktir Tito makan nasi goreng di dekat rumahnya. Obrolan malam itu hanya seputar identitas diri. Tito sempat mengeluarkan SIM dan menunjukkannya ke Via.

Nama: Tito R. Tri Hutomo
Tanggal lahir: 5 Oktober 1990

Haaahhh... masih muda sekali, selisih 5 tahun denganku.” Via membatin.

Selesai makan dan mengantar Via pulang ke rumah, Tito pun pulang.


Kejanggalan di Mulai
Keesokan paginya, seperti biasa Tito menyapa Via di BBM. Semua tampak baik-baik saja sampai ada BBM dari seseorang bernama Ben*.

*1 bulan yang lalu Via pernah meminjam mobil dari sebuah rental atas rekomendasi  adiknya, karena rental tersebut lebih murah dibandingkan dengan yang lainnya. Ketika mengembalikan mobil, Via bertemu seseorang yang pernah dilihatnya di kantor saat orang tersebut mengantar pesanan ATK. Ben, itu namanya. Ternyata selain bekerja di toko ATK, dia juga bekerja di rental tersebut. Mereka pun mengobrol untuk beberapa saat dan bertukar PIN BB*

"Cieee...yang kemarin dijemput pake Sirion."

Via kaget! Darimana Ben tahu soal hal itu.
"Kok tahu, kamu kenal sama Tito?"

"Ooh.. kemarin aku lagi nganter cewekku ke bandara."

"Masa sih? kenapa gak nyapa?"
Via merasa ada sesuatu yang disembunyikan.

"Gak enak, takut ganggu."

"Ihhh… aneh banget, kalau mau nyapa ya nyapa aja, toh aku gak lagi sibuk."

"Gak ahh… takut cewekku marah."

"Oooh… anggota cowok takut pacar toh, kesian amat!"

"Bukan pacarku sih, aku juga baru kenal. Aku lagi marahan sama pacarku, ya sudah aku kenalan aja sama cewek lain. Sebenernya lebih cakep pacarku, tapi cewek yang ini tajir. Kan lumayan. Ya udah, aku anter aja ke bandara."

Via merasa ada maksud tertentu dari Ben, kenapa tiba-tiba dia BBM dan menceritakan sesuatu yang pribadi. Apa mungkin Ben menyindir seseorang atau berniat memberitahukan tentang perilaku seseorang?
"Iiihh… Jahat banget sih jadi orang! Mentang-mentang marahan sama pacarnya, malah selingkuh sama oranglain. Parahhh!!!

"Hahaha..."

BBM-an pun berhenti.

Perasaan Via menjadi sangat kuat, dia merasa yakin bahwa hal ini ada hubungannya dengan Tito. Via pun memutuskan untuk men-delete Tito dari list BBM-nya. Via sangat tidak men-tolerir, apabila ada temannya yang berbohong.
Apa yang terjadi???
Tak sampai 1 menit setelah Via menghapus Tito dari BBM-nya, status BBM Ben berubah menjadi:
"Wah ada yg kelabakan gara-gara BBM-nya di delete. Sampai nangis-nangis juga gak akan aku kasih lagi PIN-nya."

Wow...!! Via tercengang, ternyata dugaannya benar. Ben dan Tito saling mengenal. Semalam, Tito berencana hari ini akan menjemput Via sepulang dari kantor. Namun, Via terlanjur kesal gara-gara BBM-an dengan Ben dan secara sepihak dia berencana membatalkan pertemuan tanpa memberitahu Tito. Seusai jam kerja Via langsung pulang ke rumah. Jam 7.30 malam terdengar ketukan pintu ruang tamu, Via membukanya dan ternyata..... Tito yang datang.

"Ngapain kesini? ternyata kamu sama Ben berencana ngerjain aku kan? Males aku temenan sama tukang bohong!!" Teriak Via tanpa tedeng aling-aling dan tanpa mempersilakan Tito masuk.

"Tunggu dulu Vi, aku bisa jelasin semuanya. Kasih kesempatan aku buat jelasin. Aku tadi nyariin kamu di parkiran kantor, aku tungguin, tapi kamu gak ada. Aku mau BBM juga gak bisa, karena kamu hilang dari list contact, makanya aku kesini untuk ketemu dan jelasin semuanya." Kata Tito membela diri.

"Udah, pulang aja sana! Emang sengaja aku hapus contact-mu dari BBM. Aku udah tahu semuanya, gak perlu dijelasin lagi." Kata Via sambil mencoba menutup pintu yang terbuka ke arah luar.

"Pliisssss Vi, dengerin aku dulu. Sumpah demi apapun aku gak ada maksud buat ngerjain kamu. Kalau emang aku ngerjain, ngapain aku harus tetep nungguin kamu di parkiran kantor, ngapain aku sedih pas kamu delete contact-ku, ngapain juga aku sampai kesini dan berniat jelasin semuanya." Kata Tito sembari menahan pintu agar tidak ditutup.

Akhirnya Via memberi kesempatan Tito untuk menjelaskan. Setelah mengobrol sebentar di depan pintu, akhirnya mereka pun pergi naik motornya Tito ke Omah Semar, tempat makan di jalan Melati Kulon. Sesampainya di Omar Semar, Tito mengakui bahwa dirinya memang mengenal baik Ben dan dari Ben lah dia mendapat PIN BB Via.

"Maafin aku, Vi. Aku emang kenal sama Ben. Kita sama-sama investasiin mobil direntalan. Dia tahu kalau kemarin aku jemput kamu di bandara, karena kemarin aku pakai mobil yang ada di rental." Kata Tito menjelaskan.

Trus, kenapa Ben cerita soal cowok yang udah punya cewek lagi berantem sama cewek-nya, trus iseng cari cewek lain yang tajir buat menghibur?" Tanya Via penasaran.

"Aku sama sekali gak tahu maksud dia cerita begitu." Jawab Tito mencoba membela diri, tapi tidak menjelaskan apapun.

"Gak mungkin! Pasti ada maksud dia cerita begitu. Aku tegaskan ya, aku paling gak suka punya teman tukang bohong! Lebih baik jujur, meski itu pahit." Via menjadi sedikit emosi.

"Sumpah, aku gak tahu maksudnya dan aku juga gak ada maksud untuk bohongin atau ngerjain kamu." Tito menjelaskan dengan terbata-bata dan matanya mulai berkaca-kaca.

Sejak awal BBM-an dengan Tito, Via mengetahui bahwa Tito sudah memiliki pacar dan Via menghargai keterbukaan itu. Bagi Via informasi tersebut penting, karena dengan begitu dia bisa tahu bagaimana harus bersikap.

"Trus, apa kamu lagi berantem sama pacarmu? Jujur aja, seburuk apapun kejujuran itu aku lebih menghargainya daripada kebohongan putih." Via bertanya lagi karena masih tidak yakin. Hatinya berkata bahwa pasti ada hubungan antara kejadian pertemuan di bandara kemarin dengan kata-kata Ben.

"Nggak, hubunganku sama pacarku baik-baik aja. Emang komunikasi kita akhir-akhir ini gak begitu bagus, karena dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi gak tahu kenapa sejak aku kenal kamu, aku santai aja meskipun diperlakukan begitu. Aku sama sekali gak ada maksud buat ngerjain kamu. Sumpah! Sekarang kamu pikir, kalau emang aku mau ngerjain ngapain aku tetap datang ke kantormu padahal BBM-ku udah di delete. Trus, ngapain juga sampai aku bela-belain datang ke rumahmu." Masih dengan terbata-bata Tito menjelaskan, namun kali ini air matanya mengalir membasahi pipinya.

Via pun luluh, hampir saja dia juga ikutan meneteskan air mata, tetapi tidak jadi. Akhirnya setelah makanan mereka habis, mereka berdua meninggalkan Omah Semar dan menuju rumah sahabat Via untuk mengambil sesuatu. Hanya sebentar saja, lalu Tito mengantar Via pulang.


Acara di rumah Tito
Untuk beberapa waktu mereka tidak bertemu sampai akhirnya pada suatu hari Tito memberi kabar akan melakukan kegiatan sosial dan butuh bantuan untuk mengambil makanan yang akan dibagikan. Kebetulan sore itu Via tidak lembur, jadi dia menerima ajakan Tito. Jam 4 sore Tito datang dengan mobil yang dipinjam dari saudaranya. Mereka pun melaju dengan cepat menuju beberapa tempat untuk mengambil pesanan makanan, lalu bergegas ke tempat kegiatan karena acaranya sudah hampir dimulai.
Acara berlangsung dengan lancar. Karena tempat acaranya tidak jauh dari rumahnya, Tito mengajak Via untuk bertemu kedua orangtuanya. Via sendiri tidak mengerti maksud dari ajakan Tito. Awalnya dia menolak ajakan itu, karena dia merasa tidak enak, tidak pantas dan tidak kenal dengan orangtua Tito. Namun, Tito terus membujuknya dan meyakinkan bahwa orangtuanya tidak keberatan. Well, akhirnya Via menerima ajakan itu.

Sesampainya di rumah Tito, benar saja, Via disambut hangat oleh kedua orangtua dan adiknya. Mereka pun makan malam bersama. Semua tampak baik-baik saja sampai akhirnya Via merasa tidak nyaman karena ucapan ayahnya Tito.

"Berapa bersaudara?'' Tanya ayahnya Tito.

"Dua, pak." Jawab Via.

"Wah, bapaknya takut miskin ya? kok anaknya cuma dua." Ayahnya Tito mengomentari.

"Hfffttt... kok aneh banget sih komennya." Via tidak menjawab, hanya tersenyum dan membatin.

Makan malam selesai. Ayah, ibu dan adik Tito sholat maghrib di mushola rumah yang terletak di lantai satu. Anehnya, ibunya Tito menyuruh Via untuk sholat di mushola lantai dua. Via menurut saja, dia naik ke lantai 2 dari rumah besar dan panjang yang hanya dihuni oleh 4 orang itu. Via pun sholat bersama Tito di mushola lantai 2.

Via pamit pulang. Namun, sebelum mengantar Via pulang, Tito mengajak Via untuk mengembalikan mobil saudaranya yang tadi dipinjam dan sekaligus mengambil motornya yang dititipkan disana. Di rumah saudaranya Tito, Via bertemu dan dikenalkan dengan 3 orang, yaitu paman, bibi, dan neneknya.

Nah, kalau cari pacar yang kayak gini. Tinggi.” Celetuk neneknya yang masih terlihat kuat, meski sudah duduk di kursi roda.

Via hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Urusan pengembalian mobil sudah selesai. Tito pun mengantar Via pulang, mampir membeli pizza, lalu mengantarkan pizza tersebut ke rumah mbak Dina, teman kantor Via. Saat di tempat pizza, Tito agak sedikit “aneh”, tingkah lakunya seperti orang yang belum pernah masuk dan makan pizza disana. Via jadi teringat kata-kata Ben, sejenak dia merasa kata-kata itu benar, tapi ah mungkin saja itu salah. Via mencoba menghilangkan dugaan itu dari pikirannya.Keesokan paginya mbak Dina bilang "Kalian mirip lho..."


Hari ulang tahun kakaknya Tito.
Tito meminta bantuan Via untuk membawakan kue tart ke rumah kakaknya yang sedang berulang tahun, karena dia kesulitan untuk membawanya sendiri dengan menggunakan motor. Usai membeli tart di salah satu toko kue terbesar di kota ini, mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah kakaknya Tito. Sama seperti di rumahnya, sambutan hangat pun terasa lagi, kakaknya menyambut dengan ramah. Usut punya usut, berdasarkan obrolan dengan kakaknya, ternyata mertua kakaknya itu masih punya hubungan saudara dengan tetangga neneknya Via. Entah bagaimana menjelaskannya, agak rumit memang. Tak lama setelah makan malam dan sholat maghrib, Tito dan Via pamit pulang. Mereka berdua pulang melewati arah lain, bukan jalan yang sama ketika berangkat tadi. Mereka sempat mampir untuk membeli geblek *makanan yang terbuat dari tepung kanji yang di goreng* dan bakso di dekat Stasiun.


Berbuka puasa dengan Tiwi
Tiwi adalah sahabat Via. Mereka berdua berencana untuk buka puasa bersama di suatu restoran cepat saji di salah satu Mall. Tiwi mengajak adik pacarnya, dan Via mengajak Tito. Namun, kebetulan sekali hari itu ayah Tito akan berangkat ke Jakarta naik kereta dan Tito diminta untuk mengantarnya ke Stasiun. Via sudah mengatakan pada Tito untuk tidak memaksakan diri bila memang tidak bisa datang.

Kalau gak bisa datang, gak usah dipaksakan, toh ini bukan acara penting.

Gpp, beib. Nganter bapak kan cuma bentar aja, paling juga sebelum buka puasa aku udah sampai di Mall.” Balas Tito lewat BBM.

Benar saja, sekitar 5 menit sebelum buka, Tito sudah sampai. Padahal jarak dari Stasiun ke Mall sekitar 29 km dan dia hanya butuh waktu 15 menit. Via curiga, bagaimana bisa dia secepat itu, sementara jalanan pasti sangat macet menjelang berbuka? Lupakan sejenak, akhirnya mereka berempat buka puasa bersama.


Tito Diputusin pacarnya
Suatu malam, Tito menelepon Via sambil menangis tersedu-sedu.
Vi, aku putus sama pacarku.

Lho, kenapa? Kalian berantem?

Iya. Dia mutusin aku, karena dia sudah punya laki-laki lain yang lebih pintar dan lebih mapan, sementara aku, kuliah aja belum lulus.

Waduh, kok begitu. I’m sorry to hear that. Sabar ya, udah gak usah nangis, gak usah sedih, kan teman-temanmu banyak.

Hmmm… Makasih ya, Vi.

Sebenarnya Via merasa aneh dengan kejadian ini, kenapa tiba-tiba pacarnya Tito minta putus. Via ragu antara harus berpikir positif bahwa hal itu memang seharusnya terjadi atau berpikir negatif bahwa Tito menginformasikan putus agar bisa lebih dekat dengannya ???


Keanehan Semakin Kentara
Waktu terus berjalan, pertemanan antara Via dan Tito pun semakin akrab, bahkan mereka saling memanggil “beib”. Seperti ada ikatan saling membutuhkan antara keduanya, namun Via merasakan kejanggalan dari beberapa tingkah laku dan perkataan Tito. Misalnya saja, setiap jam 7 sampai jam 10 malam, Tito menghilang bagai ditelan bumi dan terbenam bersama matahari. Tidak ada BBM, SMS apalagi telepon saat jam-jam tersebut. Terkadang ada juga kata-katanya di BBM yang tidak sinkron dengan kenyataan. Bukan hanya sekali, bahkan lebih dari 10 kali Via men-delete Tito dari list contact BBM-nya tapi akhirnya mereka bisa BBM-an lagi karena Tito selalu meng-invite-nya kembali. Via juga pernah mengatakan pada Tito untuk tidak menemuinya lagi, but it doesn’t work.
Tito menjadi sering terlihat cemburu saat handphone Via berbunyi, entah ada BBM/ SMS/ Twitter pasti Tito selalu ingin tahu, “Dari siapa?” “Itu siapa?” “Kok BBM-nya kayak gitu?” Selalu saja ada pertanyaan, sebenarnya Via agak risih dengan sikap possessive Tito.


Sepatu Kappa Putih
Beib, ada tamu yang nyarter mobilku. Lusa aku mau nganter mereka keliling Jogja, boleh pinjam sepatu Kappa-mu yang putih?

Hmmm… coba deh besok, kira-kira aku pakai ngga. Kalau ngga ya pake aja.
Entah kenapa terlintas dipikiran Via bahwa Tito mengincar sepatunya, karena beberapa kali dia memuji sepatu itu sambil berkata “kayaknya kalau buat aku, cocok nih...

2 hari kemudian pagi-pagi sekali Tito ke rumah Via untuk mengambil sepatu.
Ini sepatunya, dijaga baik-baik ya, jangan sampai kotor/ rusak!

Siaaaap beib, tenang aja sepatunya akan aku balikin utuh.

Beberapa hari kemudian Tito menghubungi Via lewat BBM.
Beib, nanti siang pas istirahat aku ke kantormu ya. Mau balikin sepatu. Sekarang sepatunya masih aku jemur.

Okay, beib. Kabarin aja kalau udah sampai parkiran, nanti aku turun.

….
….
Beiiiiiiibbb, aku udah sampai parkiran.

Yoiii.. wait a minute!
Via pun turun dari kantornya yang berada di lantai 3 dan langsung menuju ke parkiran.

Ini sepatunya, makasih ya beib, pas banget ukurannya di kakiku. Udah aku cuci juga lho ini…” Kata Tito sambil mengulungkan sepatu yang dibuntel kresek.

Syukurlah kalau emang pas, berarti ukuran kaki kita sama donk. Waah..makasih juga udah dicuciin. Trus gimana kemarin acaranya, jalan-jalan kemana aja?” Tanya Via sambil menerima buntelan sepatu itu.

Tamu-ku kemarin tuh satu keluarga. Ayah, ibu, dan 2 anak. Anaknya masih kecil-kecil, lucu. Mereka terlihat seperti keluarga yang bahagia. Mereka aku antar ke Keraton, Pantai Parang Tritis, Toko Souvenir, Malioboro, Alun-alun dan Candi Borobudur. Pas lihat mereka turun dari mobil, begitu sampai di salah satu tempat wisata, ayah dan ibunya menggandeng anak-anak mereka, tiba-tiba aku membayangkan kalau itu kita, beib. Aku pengen kayak gitu, pasti bahagia banget rasanya.

Wow, so sweet banget ya mereka. Hehehe… pasti bikin semua orang ngiri. Oiya, maaf, aku harus segera balik lagi ke kantor, takut dicariin pak Bos.

Oke beib, aku juga mau ke Kampus.” Kata Tito sambil memutar balik motornya.

Hati-hati ya!” Via melambaikan tangan sambil berjalan meninggalkan parkiran.


Syuting Acara Kantor
Waktu itu semua karyawan di kantor Via diminta untuk menghadiri acara talkshow dari sebuah Stasiun TV lokal guna membahas kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan tempat Via bekerja. Via berangkat bersama temannya satu kantor, tapi saat pulang Tito sudah menunggunya diparkiran dengan mobil. Padahal sebelumnya Via sudah bilang pada Tito untuk tidak menemuinya lagi, tapi sepertinya larangan itu tidak dipedulikannya, dia tetap datang menjemput. Akhirnya Via pulang bersama Tito.


Pertengkaran di Lampu Merah
Malam itu Via kerja lembur, dia baru pulang sekitar pukul 9 malam. Tak seperti malam-malam lainnya dimana Tito selalu menghilang saat pukul 7 – 10 malam, malam itu Tito menghubungi Via.
Beib, udah pulang belum?

Belum, bentar lagi. Ini masih ada laporan yang harus diselesaikan.

Tapi tadi udah sempat makan kan, beib?

Udahlaahh…. kan dipesenin makan malam sama kantor.

Syukurlah, nanti kalau udah mau pulang kabarin ya.

Sekitar 15 menit kemudian.
Aku udah mau pulaaaaaang \(^_^)/

Oke beib, aku jemput ke sana ya…

Ngga usah, aku berani pulang sendiri.

Hmmm…

Via pun membereskan mejanya dan berjalan turun dari kantor menuju ke parkiran.
Looohh…kok udah sampai sini? Kan aku bilang ngga usah kesini, aku bisa pulang sendiri.“ Via kaget saat melihat Tito sudah nangkring di atas motornya, di parkiran kantornya Via.

Kan aku udah bilang mau jemput kamu, beib.

Akhirnya Via pulang ke rumah ditemani Tito dengan motor mereka masing-masing. Saat melewati lampu merah, mereka berhenti bersebelahan.
Kamu ngapain sih pake acara nganter segala, ini kan udah malam, ntar di cariin bapak-ibumu lho.

Kan bentar aja, lagian coca cola-ku yang dibeliin my beiby ketinggalan di rumah my beiby.

Via kaget mendengar itu, dia langsung menepi ke trotoar dan diikuti Tito.
Apaaaa??? Gara-gara coca-cola??? Jadi maksudmu nganter aku pulang cuma karena coca cola yang ketinggalan? Lagian kalau hanya coca cola aja, besok bisa aku bawain. Mau berapa krat, hah? Kamu itu laki-laki macam apa sih coca cola segitu doank aja sampe segitunya.

Lho kok kamu gitu, beib? Aku salah ya? Ya udah aku minta maaf.

Gak perlu! Ternyata kamu tuh pikirannya kaya gitu, sepatu aku, makan-makan di resto bareng aku, nyaranin beli baju kembaran 3, belanja macem-macem. Sana pulang!! Pulaaaaaaaang!!! Aku gak mau ketemu kamu lagi!

Beiiiiib, tenang dulu donk. Aku tadi tuh cuma bercanda, gak ada maksud apa-apa. Ya maaf, kalo aku salah.” Kata Tito dengan mata berkaca-kaca.

Aku capek tahu! Perasaan aku selalu mengatakan kalo kamu itu cuma ngerjain aku aja. Aku sendiri gak tau apa alasanmu melakukan ini semua. Entah ada suatu kebanggaan tersendiri atau kamu lagi bertaruh sama teman-temanmu di rentalan?” Via terus saja marah-marah tanpa peduli banyak orang yang memperhatikan mereka.

Ya ampun beib, kenapa pikiranmu sampai kesana. Aku sama sekali gak ada niat buat ngerjain kamu. Udah beib, ayo pulang, gak enak tuh dilihatin banyak orang.”

Bodo amat!! Kalo kamu malu, sana pulang aja, gak usah ngurusin aku!” Via geram.
Heehh… Apa lo liat-liat, gue hajar tahu rasa!” Teriak Via pada seorang pria di mobil pick up yang memandanginya dari sejak lampu menyala merah sampai lampu sudah menjadi hijau.

Iya, aku akan pulang, tapi aku nganter kamu dulu sampai rumah. Aku mau mastiin kamu baik-baik aja sampai di rumah.” Kata Tito perlahan, diikuti air mata andalan yang mengalir membasahi pipinya.

Satu jam berlalu, marah via mulai mereda. Akhirnya Tito mengantar Via sampai rumah, lalu dia pun langsung pamit pulang.


Acara Kampusnya Tito
Tito mengabarkan bahwa besok kampusnya akan mengadakan acara talkshow tentang pariwisata. Pihak kampus ingin acara tersebut dihadiri banyak orang, setiap siswa diminta untuk mengajak teman-temannya. Syaratnya mudah, cukup memakai jas almamater kampus saja. Keesokannya, Tito datang ke rumah Via sambil membawa jas almamater milik kakak angkatannya yang sudah lulus dan mereka pun berangkat ke “TKP”. Suasana di gedung itu ramai, banyak dosen dan teman-teman kuliah Tito. Via merasa asing, kikuk lebih tepatnya, bagai penyelundup yang mencoba “biasa” di lingkungan yang “tidak biasa”. Tito sepertinya menyadari hal itu, dia berusaha membuat Via tenang. Dia selalu berada di sebelah Via tanpa mempedulikan sekitar, padahal Via sudah mempersilakan Tito bila ingin membaur, mengobrol atau bertegur sapa dengan teman-temannya sebelum acara dimulai. Namun, Tito terus saja disamping Via sampai acara selesai.
Acara berjalan lancar, berlangsung sekitar 1 jam. Semua orang tampak berjalan keluar dari ruang pertemuan menuju aula depan. Disitu, seorang dosen mengumumkan kepada semua mahasiswa untuk malam malam bersama di sebuah restoran. Akhirnya mereka pun berangkat beramai-ramai dengan kendaraan masing-masing.
Sesampainya di restoran, Via dan Tito duduk di paling pojok, tepat di depan dosen yang tadi memberi pengumuman. Via semakin merasa tidak nyaman, tapi apa boleh buat, kursi yang kosong hanya tinggal itu saja. Sambil menunggu makanan, orang-orang saling mengobrol satu sama lain. Tito pun mengajak ngobrol Via, dia sama sekali tidak menghiraukan teman-temannya, hingga mendadak sebuah suara terdengar…

Mbak, angkatan tahun berapa?” Tanya Dosen yang duduk tepat di depan Tito, tiba-tiba.

Via kaget, bibirnya yang semula bergerak karena sedang ngobrol dengan Tito mendadak bungkam, matanya langsung melirik kearah Tito dan jantungnya serasa berhenti beberapa detik.
Waduuhh, pasti pak Dosen curiga kalau aku ini penyelundup.” Via membatin.

Belum sempat Via berkata, Tito langsung menjawab sambil menepuk pundak Via.
Oohh…dia ini angkatan tahun 2007, Pak.

Pasti bukan anak kampus kita, ya?” Pak Dosen bertanya lagi sambil tersenyum.

Hehehe…iya, bukan, Pak.” Kata Via sambil membalas senyuman itu dan berusaha menutupi ke-grogi-annya.

Iya, Pak. Dia bukan dari kampus kita. Dia sengaja saya ajak buat nambah peserta.” Tito langsung menyambar.

Makanan datang. Setelah selesai menyantap dan melahap semua makanan yang tersaji, mereka pun pulang.


Kopeng
Kantor Via mengadakan pelatihan di daerah Kopeng, sekitar 3 jam perjalanan kalau dari Jogja. Waktu itu Tito menjemput dan mengantar Via sampai ke parkiran kantor, karena pihak kantor sudah menyediakan bus untuk transportasi. Sehari sebelumnya, Tito menyarankan agar Via tidak usah berangkat dengan bus, tapi dengan motor saja. Dia berniat untuk mengantar Via, namun Via menolaknya. Entah apa yang ada dipikirannya, saat hari H dia malah mengikuti bus Via sampai ke Kopeng. Walhasil, semua teman sekantor Via mengetahui sosok Tito dan gara-gara itu Via menjadi hot gossip. 

  
Jas Hujan dan Tas
Hari itu tanggal merah, langit di atas rumah Via masih gelap, antara gelap karena terlalu pagi atau gelap karena sisa hujan semalam. Tito menghubungi Via, dia mengatakan sudah menunggu di depan rumah Via. Tanpa persiapan, akhirnya Via pergi bersama Tito. Tito akan mengantar Via untuk melihat matahari terbit. Di tengah jalan, awan mendung yang tadinya tidak ada mendadak mendekat dan berhenti tepat diatas kepala mereka berdua. Hujan pun turun dengan derasnya. Mereka menepi sebentar didepan sebuah rumah dan berencana melanjutkan perjalanan setelah memakai jas hujan. Tito membuka bawah jok motornya untuk mengambil jas hujan, namun seketika itu Via terkejut. Jas hujan Tito, basah!

Lho, kok jas hujannya basah?” Tanya Via penasaran.

Ehmm… itu…itu bekas kemaren lusa, lupa gak aku jemur.” Tito menjawab.

Via diam dan membatin, aneh sekali, tidak mungkin itu basah sejak kemarin lusa, karena basahnya benar-benar kuyup seperti terkena hujan semalam. Tapi, Tito semalam BBM kalau dirinya tidak pergi kemana-mana, dia di rumah saja dan dia “menghilang seperti biasanya” (tidak membalas BBM) dengan alasan sibuk mengaji.
Via tak mau memperpanjang masalah itu. Meskipun semua tampaknya baik-baik aja, tapi sebenarnya Via menyimpan semua keanehan yang terjadi selama ini di otaknya. Perjalanan pun dilanjutkan walau harus dengan ber-jas hujan ria.
Sesampainya disana, mereka duduk diatas pasir, memandangi mentari yang mulai terbit dari ufuk timur sambil mengobrol tentang masalah pribadi masing-masing. Tito duduk sambil memangku tas-nya, tas yang selalu dibawa kemana pun dia pergi. Selama ini Via tak pernah merasa se-curiga pagi itu. Tanpa dugaan Tito, Via langsung merebut tas itu dan menariknya. Awalnya Tito biasa saja, tapi saat Via akan membuka retsleting tas tersebut, Tito langsung menarik tasnya kembali. Via semakin curiga, ada apa sebenarnya di dalam tas itu. Via menariknya lagi dan Tito pun menahannya. Saat Via menanyakan mengapa tas itu tidak boleh dibuka, Tito tidak mau menjawabnya. Dia tiba-tiba berkata ingin ke kamar kecil karena perutnya sakit. Dia pun berlari kearah toilet sambil membawa tasnya. Sekitar 15 menit, dia keluar dan berlagak seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dia mengajak ngobrol Via dan mencoba merubah tema agar Via tidak menanyakan lagi apa isi tasnya. Via pun malas untuk mengungkitnya kembali. Akhirnya mereka pulang. Tanda tanya di pikiran Via pun menjadi semakin besar. Banyak keanehan yang terjadi, namun Tito tak mau menjelaskannya dan dia selalu bersikap seperti tidak ada apa-apa.


THE DAY
Sore itu adalah sore yang cerah, langit biru dihiasi beberapa awan putih. Sang mentari masih terlihat meski bersembunyi malu-malu di balik awan sebelah barat, bahkan pelangi pun tak ingin kalah eksis muncul setelah hujan siang tadi.

Tiba-tiba BBM Tito masuk, “Hei beib, lagi apa?

Hmm…lagi siap-siap mau ke supermarket, mau belanja bulanan.” Jawab Via.

Ya, udah…hati-hati ya di jalan.

Okay!

Via mengendarai motornya menuju sebuah supermarket. Sesampainya disana, dia memarkir motornya, langsung masuk ke supermarket dan mulai memilih barang. Supermarket ini terkenal murah, sehingga antrian di kasir bisa sangat panjang, terutama saat “tanggal muda”. Via menyusuri supermarket mulai dari pintu masuk sampai rak terakhir yang ada di dekat kasir. Sesampainya di kasir, antrian begitu panjang, masih ada 9 orang dideretan kasir tempat Via mengantri. Kasir di sisi yang lainnya pun sama, penuh semua.

Sambil menunggu antrian, untuk mengusir sepi, Via nge-BBM Tito.
Kamu lagi apa? Udah mandi blm?

Tito pun membalas.
Baru bangun tidur neh…belum mandi.

Lha, perasaan 30 menit yang lalu BBM aku, kok sekarang bilangnya baru bangun tidur?” Tanya Via lagi.

Sambil menunggu balasan BBM, Via maju selangkah demi selangkah di dalam antrian tersebut sambil mendorong trolley-nya sembari mencocokkan belanjaan yang ada di dalam trolley dengan daftar yang ia tulis.
Hmmm…antriannya membuat Via haus, dia meninggalkan trolley-nya dan berlari melewati rak parfum lalu berbelok kearah lemari pendingin untuk mengambil minuman, kemudian segera kembali menuju arah kasir melewati jalan yang berbeda. Dia berlari melewati rak shampoo, saking terburu-burunya, tanpa sengaja dia menabrak punggung orang yang sedang memilih shampoo. Via ingin segera meminta maaf pada orang itu, namun belum sempat dia mengeluarkan suara, orang tersebut berbalik badan kepadanya. Bagai petir di siang bolong yang tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba menggelegar. Orang yang Via tabrak adalah Tito. Tito pun sama terkejutnya dengan Via, dia sama sekali tak bersuara.

Yang, jadinya kamu mau beli yang mana?” Suara itu keluar dari mulut seorang perempuan yang berdiri di sebelah Tito yang tampak sibuk memilih shampoo yang ada di rak.

Belum cukup Via dikagetkan dengan keberadaan Tito di supermarket tersebut, dia pun dikagetkan lagi dengan suara perempuan itu. Via dan Tito diam seribu bahasa, hanya mata mereka yang berbicara, namun Via segera meninggalkan Tito dan segera kembali ke antriannya. Setelah selesai membayar, Via pun pulang ke rumah. Pikiran dan perasaannya menjadi kacau. Kesal, karena merasa dibohongi, tetapi di sisi lain juga senang karena dugaannya selama ini benar. Tuhan tak pernah tidur dan kebenaran pasti akan terungkap. Dan dia yakin kalau hari ini Tuhan telah menunjukkan kebenaran yang selama ini telah di nantinya.


6 jam kemudian BBM Tito masuk.
Hey beib, sorry tadi aku di suruh mama beli shampoo, eh terus ketemu sama mantanku di lampu merah. Kebetulan dia juga mau ke supermarket, ya udah jadinya kita bareng. Ini aku baru aja pulang acara karang taruna.

Via tak membalas BBM itu. Dia masih kesal. Dia paling tidak suka dengan orang yang sudah berbohong padanya. Semua keterangannya terasa sangat janggal. Mulai dari BBM yang bilangnya baru bangun tidur; cerita soal disuruh beli shampoo sama mamanya (padahal jarak dari rumah ke supermarket sekitar 18 km); kalaupun katanya itu sudah mantan, kenapa dia tidak mengejar Via saat di supermarket; dan kenapa setelah 6 jam dia baru memberi kabar.
Hari-hari selanjutnya, Tito terus berusaha menghubungi Via melalui BBM, SMS, YM, dan telepon, tetapi Via tidak mempedulikannya. Hingga di suatu malam terdengar suara bel rumah berbunyi, Via mengintip dari balik jendela.

Vi, aku tahu kamu di dalam. Tolong bukakan pintunya, aku mau menjelaskan semuanya.

Gak usah jelasin apa-apa, aku udah tahu semuanya.” Teriak Via dari dalam rumah.

Okay! Aku gak akan pulang sebelum kamu kasih kesempatan aku buat ngomong.

Hfftt… Via pun tak punya pilihan lain, daripada anak orang dibiarkan sampai pagi dipinggir jalan, akhirnya dia membukakan pintu pagar. Tito berjalan perlahan masuk ke teras dengan lunglai sambil tangannya meraba-raba tembok, seolah dia tak kuat berjalan.

Beib, kamu kemana aja? Kenapa gak balas semua pesanku?” Katanya dengan suara lemah.

Gak apa-apa, cuma lagi malesss aja!

Kok kamu gitu, emangnya aku salah apa sama kamu? Kamu tau gak, kalau aku kemarin di rawat di rumah sakit. Aku drop, badanku lemes banget, sampe bapakku dan orang rumah pada panik

Lha, malah nanya salahmu apa. Salahmu ya gak menyadari kesalahanmu itu!!! Masuk rumah sakit? Mana kutahu, kan kamu gak ngasih tau.

Emang aku salah apa?

Lha ya apa, kamu pikir aja sendiri.

Aku gak tahu beib, kamu bilang dong, salahku itu apa?

Hrrrrr…kamu itu bikin sebeeelllll. Kenapa sih pake acara bohong segala. Toh, aku gak masalah kamu mau pergi sama temenmu, mantanmu atau malah pacarmu, tapi tuh jujur doooong. Aku paling gak suka sama orang yang tukang bohooooong!

Aku gak bohong, beib. Kan waktu itu di BBM aku udah cerita dan semua yang aku katakan itu benar adanya.

Gak mungkin! Mana ada orang beli shampoo jauhnyaaaa… Emang di dekat rumahmu gak ada warung?

Itu beneran aku disuruh mama beli shampoo, sebelumnya mantanku ngehubungin aku, dia minta ketemuan. Ternyata dia menyesal dan dia minta balikan, tapi dia bilang itu pas setelah belanja dan nganter aku beli tas.

Nah kaaaann… beda lagi ceritanya. Kemarin bilangnya gak sengaja ketemu di lampu merah. Mana yang benar? Apalagi itu dia minta balikan, kamu kali yang minta balikan atau jangan-jangan kalian emang gak pernah putus???

Bener, beib… dia itu ngajakim balikan, bahkan dia udah pernah ngelamar aku.

Hah, kaya orang Padang aja, cewek yang ngelamar. Dia kan orang jawa!

Tapi emang begitu. Kalau kamu gak percaya, telepon aja bapakku.

Ogah! Aku gak ada urusan sama bapakmu.

Ya udah, yang penting aku udah cerita semuanya sejujur-jujurnya.

Jujur? Sumpah demi apa, kalau itu semua jujur???

Tito terdiam, dia tidak menjawab sepatah kata pun. Badannya gemetaran dan nyaris ambruk. Entah itu acting atau beneran. Badan Via juga mendadak lemas dan mau pingsan, namun Tito segera memeganginya. Aneh, padahal tadi Tito terlihat lunglai, tapi tiba-tiba menjadi cekatan saat “menyambar” badan Via supaya tidak jatuh, bahkan kuat menggendong Via sampai ruang tamu.


Telepon Misterius
Beberapa hari kemudian, saat itu hari minggu, Via menghabiskan waktu seharian hanya dengan tidur. Pekerjaannya di kantor sangat membuatnya lelah, apalagi laporan-laporan akhir tahun yang harus selesai segera, sesuai deadline.
You on your knees begging please… stay with me, but honestly I just need to be a little crazy…..” telepon Via berdering, membangunkannya dari tidur siang itu. Dengan mata yang masih berat untuk di buka, dia berusaha mencari asal suara sambil meraba tempat tidurnya, sampai tangannya berhenti dibawah bantal dan menemukan handphone-nya. Tanpa melihat telepon tersebut dari siapa, dia menekan tombol accept.

Halo… Assalamu’alaikum, apa betul ini Via?” Terdengar suara perempuan menyapa dan bertanya.

Via kaget dan membuka matanya, lalu menjauhkan telepon dari telinganya sesaat untuk memperhatikan nomor masuk yang tertera di handphone-nya. Tidak, dia tidak mengenal nomor itu.
Wa’alaikumsalam. Ya, benar. Ini siapa ya?” Via menjawab.

Aku Cinta, mantannya Tito.

Oohh... Ada apa ya, mbak?

Hmmm…nggak, aku cuma mau ngejelasin aja kalau waktu itu aku sama Tito nggak sengaja bertemu dan akhirnya kita pergi bareng. Aku udah ga ada apa-apa lagi kok sama dia, jadi kamu gak perlu berpikiran lain.

Oohh gitu. Terserah deh kamu mau bilang apa, tapi aku sama sekali gak peduli. Aku udah muak dengan semua kebohongan ini.”

Ya udah kalau gitu, aku cuma mau menyampaikan itu aja. Tolong Tito dimaafkan ya.

Gak tahu deh!

Maaf udahan dulu, aku ada kerjaan lain. Assalamu’alaikum.

Wa’alaikumsalam.

…dan telepon pun terputus.
Semua ini menjadi semakin aneh, waktu itu Tito bilang mantannya mengajak balikan, tapi hari ini mantannya malah menelepon dan memohon agar Tito dimaafkan.

Sorenya Tito BBM dan menanyakan apakah mantannya sudah menelepon atau belum, kali ini Via membalasnya.

Beib, tadi Cinta telepon kamu?

Hmmm…iya, tadi ada yang telepon ngaku namanya Cinta.

Kaaannn..bener. aku sama dia tuh udah gak ada apa-apa.

Aneh! Kemarin kamu bilang dia ngajak balikan, lha sekarang dia kok malah telepon aku bilang gak ada apa-apa sama kamu. Aneh! Semuanya gak masuk akal. Udah deh, kamu ngaku aja. Gak capek apa bohong terus?

Ya ampun beib, bohong apa sih. Aku tuh udah cerita sejujur-jujurnya, gak ada yang aku tutupin.

Kalau gitu, apa kamu berani sumpah kalau semua yang kamu ceritakan itu adalah yang sebenarnya?

Via menunggu balasan dari Tito, tetapi tak ada balasan sama sekali. Via baru ingat kalau ternyata waktu sudah menunjukan lewat dari jam 7 malam. Seperti biasa, jam segitu Tito akan lenyap.


Selamat Tinggal, Tito…
Setelah SMS terakhir yang tak dibalas, Tito menghilang bagai ditelan bumi. Lost contact. Seminggu kemudian, pagi itu jam 8.20 handphone Via berbunyi, ternyata ada SMS dari Tito yang isinya seperti tak pernah ada kejadian apapun. Innocent.

Beeeeeeeeiiiiiiibbbbbbbbbb, kangen my beiby.

Via tak membalasnya hingga sore ada SMS lagi dari Tito.

Beeeeeiiiibbbbb, my beiby baik-baik aja kan?

Sama seperti sebelumnya, Via pun tak membalas SMS Tito. Namun, dia tak menyerah, dia pun SMS lagi jam 10 malam.

Beeeeeeiiiiiibbbbb… I’m sorry I’m crying beib

Aku kangen bangeeeeeet sama my beiby, trus air mataku mengalir, beib…

Dan keesokan paginya, Tito pun SMS lagi.

Beib, I realized that I’m truly love you… Maaf beib, kalau aku punya banyak kekurangan.

Via masih belum mau membalas SMS Tito. Sebenarnya Via kesal bukan karena Tito kembali dengan pacarnya atau Tito bertemu dengan pacarnya, tetapi Via merasa Tito terlalu sering berbohong padanya. Via sangat trauma dengan kebohongan. Hal itu pernah terjadi pada dirinya saat masih duduk di bangku kuliah, saat dia sangat percaya dengan sahabatnya yang telah lama dikenal baik, namun ternyata membohonginya hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Seandainya saja Tito mengatakan yang sebenarnya sejak awal, mungkin Via tak akan kesal dan masih tetap mau berkomunikasi.
3 hari kemudian, Tito kembali mengirimkan SMS ke Via sekitar jam 5 sore.

My beiby tuh gak salah sama sekali, my beiby sama sekali gak nyusahin aku, malah my beiby yang memberi arti dihidupku, my beiby yang udah kasih semangat, my beiby yang pokoknya my beiby udah memberi warna dalam hidupku. Aku seneeeeeeeng banget bisa bertemu my beiby…

Via masih belum membalas SMS itu, Tito pun masih tak mau menyerah dan dia terus saja SMS.

SMS ku gak nyampe ya, beib? My beiby kemana aja?

SMS ku gak nyampe ya, beib????????

My whole live is for you, beib…

My beiby, you are the strongest woman I ever met, beib…

I wish I could beside you whatever you feel, beib… when you happy, when you sick, when you sad, I wanna be there, beib…

Aku udah memutuskan untuk menyerahkan semua hatiku dan cintaku ke my beiby… Makasih untuk semuanya ya, beib…

Semua SMS yang udah aku kirim, itu semua bukan kebohongan, tapi emang yang sebenarnya aku rasakan, beib… Kalau pengen sumpah, aku juga berani, coz itu emang yang sebenarnya…

I wont to hurt you, beib…

SMS ku masuk gak sih, beib…

Beeeeeeeeeiiiiiibbbb… Aku udah ceritakan apa yang terjadi dan yang aku rasakan, semua perkataanku itu benar adanya. Janjiku yang udah terucap itu gak akan berubah sampai kapanpun…

Beeeeeeeeiiiiiiiibbbbb…

Beeeeeeiiiiibbbb…. Kemana sih beib?

Maaf beib, tapi aku gak akan bahagia, karena semua yang aku punya udah aku serahkan ke my beiby… Makasih juga untuk rasa ketidakpercayaan yang udah my beiby kasih ke aku… My beiby cewek yang kuat, lebih kuat dari bayangan my beiby sendiri… And you wanna leave me???

Aku akan selalu ada disamping my beiby… Aku lebih memillih my beiby sampai saat ini, ataupun besok, besoknya lagi, besoknya lagi, besoknya lagi, sampai habis nafasku pun aku tetap memilih my beiby…

My beiby sekarang udah ngerti apa yang aku rasakan???? Jadi my beiby pengen pergi ketika tahu perasaanku gimana???? My beiby tahu rasa sakitku gimana????

Beeeeeeeiiiiiiiibbbbbb… Gak mau balas SMSku ya, beib????

Beeeeeeeeiiiiiiibbbbb… My beiby kemana?????

I’ll always love you beib, day by day, week by week, month by month, year by year…

You’ll see the proof…

I wanna marry you… How do I know, my beiby gak ada kabar. Aku terkapar di rumah 3 hari my beiby gak tahu kan, sampai orang rumah bingung.

Setelah hampir 1 bulan Via tak membalas, akhirnya dia pun membalas karena kaget membaca kata “terkapar”.

Hah, terkapar kenapa?” Via membalas SMS.

Aku juga gak tahu, beib… Dadaku rasanya sesak, my beiby gak pernah balas SMS-ku.

Lho, bukannya itu salahmu sendiri, kenapa pake acara bohong.

Aku gak bohong beib, aku udah ngomong apa adanya.

Ya ya ya…terserah aja kalau begitu, hanya kamu dan Tuhan yang tahu apakah itu semua benar atau hanya dusta. Aku akan meninggalkan kota ini besok pagi, naik kereta jam 8 dan entah akan kembali kapan. Maaf, jika selama ini aku udah bikin kamu sakit, udah bikin kamu repot dan maaf juga kalau ada kata-kata atau sikap yang gak berkenan. Terima kasih untuk semuanya.

Beeeeeeeeeeeeiiiiiiiibbbb…Kok gitu???????????? Kamu gak serius kan?????????

Keesokan paginya, Via sudah siap dengan semua barang bawaannya. Dia menunggu taksi di teras, 5 menit kemudian taksi pun datang dan dia langsung meluncur ke stasiun.
Tak lama setelah sampai di stasiun, kereta yang akan ditunggu pun tiba. Orang-orang berebut untuk masuk ke dalam kereta, Via membaur dengan kerumunan itu. Saat dia sedang sibuk mencari gerbong yang sesuai dengan tulisan yang ada di tiketnya, tiba-tiba handphone Via berbunyi. Ada SMS masuk.

Beib, lihat ke arah jam 11 sekarang!

Itu SMS dari Tito. Via mencoba mengikuti apa yang tertulis di SMS tersebut dan ternyata tanpa disangka Tito datang ke stasiun. Dia berdiri tepat di arah jam 11 dari tempat Via berdiri. Dia ada dibalik pagar sebelah luar stasiun. Wajahnya yang tampak masih ngantuk itu berusaha untuk tersenyum. Via membalas senyuman itu sambil meneruskan langkahnya ke gerbong yang dia tuju, dia tahu waktunya tak lama karena sebentar lagi kereta akan berangkat dan tak mungkin ada waktu untuk berpamitan langsung dengan Tito. Via memasuki gerbong dan mencari tempat duduk. Dia meletakkan barang bawaannya dan duduk didekat jendela. Dari situ bisa terlihat Tito masih memandanginya. Via pun melihatnya, melihat Tito dengan jelas karena jarak antara gerbong tempat Via berada tak terlalu jauh dengan pagar. Rambut Tito yang berantakan, matanya yang sayu berkaca-kaca dan jaketnya yang tampak pudar karena sering terkena panas matahari begitu jelas terlihat. Pandangan matanya seolah-olah berkata “Jangan pergi”. Namun, kereta mulai berjalan perlahan meninggalkan Tito yang sedang berdiri di luar pagar stasiun, kedua tangannya memegang erat pagar dan air mata yang sudah ditahannya sejak tadi tampak mendesak keluar, hingga mengalir membasahi kedua pipinya. Via pun tak kuasa melihat hal itu, dia pun ikut meneteskan air mata seiring berjalannya kereta yang bergerak semakin cepat hingga Tito sudah tak terlihat lagi. “Entah kau telah membohongi aku atau tidak, tapi maaf, aku harus melakukan ini, aku harus pergi, karena perasaanku mengatakan inilah satu-satunya cara yang terbaik.” Kata Via dalam hati sambil mengusap air mata yang mengalir dipipinya.
Seperti itulah mereka berpisah dan setelah itu tak pernah ada lagi komunikasi diantara keduanya. Bagai embun yang menguap terkena sinar matahari pagi, hilang mengudara membaur bersama angin. 



Bocah Tua Nakal


Aku hanyalah seorang ARDI, teman-teman memanggilku “kakek” atau Om Pentoel Onde Mande atau Buyung. Nama lengkapku Ardy Pentoel Saputra Joyodiningrat. Panggilan kakek bermula saat aku duduk dibangku Sekolah Dasar, tepatnya di SD Negeri 2 Cilegon kelas 4B. Tubuhku pada waktu itu bisa dikatakan tinggi bila dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Badanku kurus hanya terlihat tulang yang berbalut kulit sawo matang. Mataku saat itu belum berkacamata, agak sedikit sipit, tapi sedikit lho ya...cuma sedikit. Hehehe... Rambutku yang ikal berwarna kecoklatan, mungkin karena aku sering bermain dibawah sinar matahari, maklum dulu hobiku adalah bermain layangan. Gigiku yang putih tersusun rapi, terlihat jelas ketika aku tertawa dan saat itu juga terlihat cekungan di pipiku yang tampak seperti "kempot" karena itu aku sering dipanggil "kakek" atau "pak Tile" oleh teman-teman di kelas. Masih ingat kan sosok pak Tile, artis senior yang naik daun pada tahun 90-an karena sering muncul dalam film Warkop DKI, nah mirip seperti itulah aku.  
penampakan sang KAKEK
 Hari pertama di kelas 4B diawali dengan pembagian tempat duduk dan pemilihan pengurus kelas. Wajah para siswa kala itu tampak sumringah, mereka senang karena mendapat kelas yang bagus (Bangunannya bekas peninggalan Belanda. Atapnya tinggi, pintu dan jendelanya besar, khas sekali bentuk bangunan Eropa. Di sekolah hanya kelas 4A, 4B dan 5B saja yang bentuknya seperti ini), dekat lapangan olahraga, dekat kantin dan juga dekat kantor Kepala Sekolah. Wali kelasnya pun cantik, Bu Vivi namanya. Beliau baru saja lulus kuliah dan langsung bekerja di SD-ku. Orangnya tinggi, langsing, berkulit putih, berambut pendek dan berkacamata.

"Stevia... Ardi... Kalian berdua duduk dibangku belakang sisi kanan!" Begitu teriak bu Vivi saat sesi pengaturan tempat duduk di kelas 4B.

Aku menuruti apa kata Bu Vivi. Awalnya aku duduk dibangku paling depan baris kedua dari sisi kanan kelas. Aku berjalan menuju bangku paling belakang dan duduk dipinggir. Tak lama kemudian Stevia menyusul, aku persilakan dia duduk mepet tembok. 

"Geser!" Teriak Stevia, memintaku bergeser ke sisi dalam, mepet tembok.

"Gak mau! Kamu aja yang duduk dekat tembok, aku udah pewe duduk disini." Jawabku.

"Iiiiihh.. gak mau! Kamu aja sana yang dipojokan. Aku gak suka, lembab!" Kata Stevia tak mau mengalah. 

"Ya udah, ya udah aku yang di pojok!" Kataku dengan sedikit kesal sambil bergeser ke pojok. 

Bu Guru akhirnya selesai mengatur, semua murid sudah menempati tempat duduk yang telah ditentukan. Proses pemilihan Ketua Kelas pun berjalan lancar. Pemilihan melalui sistem polling berhasil memenangkan Mu’man sebagai Ketua Kelas 4B. Dugaanku, dia terpilih karena badannya paling besar dan wajahnya paling sangar. Hehehe…

Pelajaran hari pertama adalah PPKN, secara acak Bu Guru meminta salah satu murid untuk membaca materi yang ada di buku Paket. Giliran pertama jatuh pada Megy, murid-murid yang lain diminta mendengarkan dan siap-siap ditunjuk untuk membaca kelanjutannya.

Tiba-tiba…
Ardi, lanjutkan.” Bu Vivi teriak dari mejanya.

Aku gelagapan karena tidak menduga akan ditunjuk selanjutnya. Sedari tadi aku tidak memperhatikan Megy membaca, tapi malah sibuk membuat tulisan graffiti di buku tulisku.

Stev, sampai mana tadi si Megy bacanya?” Aku meminta bantuan Stevia.

Huuhhh…makanya diperhatiin! Nih, sampai sini!” Kata Stevia sambil mengangkat buku paketnya ke arahku dan menunjukkan sampai dimana bacaan Megy selesai.

Aku mulai membaca kalimat per kalimat, hingga tiba-tiba suasana menjadi gerrrrr

Hahahahahahahaha…” Seisi kelas tertawa.

Mereka tertawa gara-gara aku membaca kata GBHN bukan dengan ejaan ge be ha en, tetapi ge be ha hen. Riuh tawa kembali terulang saat aku membaca kata PROPINSI, menjadi pompinsi.
Sejak itu, aku sering menjadi bahan olok-olokan teman-teman sekelas. Mereka mengolokku dengan kalimat, “Kempot sih, jadi kalau baca salah-salah mulu.

Stevia, teman sebangku-ku. Dia ini orangnya metal, meskipun wujudnya cewek, tapi penampilan dan gayanya tomboy. Seingatku, hanya sekitar 3 bulan saja aku duduk sebangku dengannya hingga akhirnya bu Vivi memindahkanku kebangku lain. Kami tak akur. Memang sih, dulu itu aku sangat hiper aktif. Aku suka sekali menjahilinya, sebenarnya bukan hanya menjahili dia saja, teman-teman yang lain juga, tapi karena aku sebangku dengannya maka dia yang lebih sering jadi sasaran keusilanku. Kalau dia sudah marah, kita bisa gontok-gontokan. Terkadang aku yang kalah. Saat di sekolah sih tidak terasa sakitnya, tapi begitu malam hari saat mau tidur, mulailah linu-linu tulangku. Tetapi, aku memang tidak pernah kapok, keesokan harinya aku berantem lagi dengannya karena dia mengejekku “pompinsi…pompinsi wekk wekk kakek bacanya pompinsi.” Aku tidak terima, terjadilah perkelahian lagi. Kami berkelahi setiap hari, entah itu aku atau Stevia yang memulai duluan. Pukul-pukulan, cakar-cakaran dan jambak-jambakan sudah menjadi “makanan” yang biasa, bahkan saat pelajaran berlangsung pun kami tidak peduli, terus saja berkelahi. Bu Vivi pernah mencoba menengahkan kami, hanya reda sebentar, keesokan harinya pasti berkelahi lagi. Teman-teman yang lain tak ada yang berani melerai, begitu juga dengan Ketua Kelas, mereka hanya bisa mencari aman dengan menonton kami berkelahi atau melaporkannya pada Bu Vivi. Akhirnya, Bu Vivi menyuruhku untuk pindah tempat duduk, bertukar dengan Hidayat. Jadi, Stevia dengan Hidayat dan aku dengan Putri.

Pindah tempat duduk dan berganti teman sebangku tak mengubah kebiasaanku. Aku tetap jahil. Sering aku menyembunyikan pensil Putri atau barang-barang lainnya, tapi aku hanya usil lho ya, bukan mencuri. Barang yang aku sembunyikan pasti akan aku kembalikan bila sudah waktunya. Putri orang yang pemalu dan pendiam, berbeda 180 derajat dengan Stevia. Saat dijahili, Putri tak pernah membalas, dia hanya diam saja, mungkin karena dia takut padaku atau bahkan bila aku sudah kelewatan, dia juga tetap tidak membalas. Satu-satunya jurus andalan dia adalah menangis. Nah, kalau sudah begitu, biasanya barang yang aku sembunyikan, aku kembalikan.

Kenaikan kelas membuat aku menjadi sedikit dewasa. Meskipun masih tetap suka usil, tapi sudah tidak keterlaluan, hanya usil lewat ucapan saja. Ejek-ejekan atau olok-olokan. Kelas 5 dan kelas 6 aku lalui dengan baik, sedikit demi sedikit prestasi akademikku meningkat. Tradisi di sekolah yang biasanya mengoplos muridnya setiap kenaikan kelas, tidak ada lagi saat zamanku. Jadi, teman-temanku dari kelas 4 sampai kelas 6 masih sama. Hal ini membuat kami menjadi semakin akrab. Teman yang paling akrab adalah Indra. Dia satu suku denganku, yaitu suku Minang. Rumahnya juga berdekatan dengan rumahku, sehingga kami juga biasa main bersama di rumah.

Kelulusan SD membuat aku harus berpisah dengan beberapa teman, karena mereka melanjutkan sekolah diluar kota. Diterima di SMP membuatku bahagia karena sebelumnya aku sempat was-was, takut jikalau hasil Ujian Akhirku tidak bagus. Aku bersyukur bisa melanjutkan di sekolah negeri, bila tidak dapat negeri mungkin aku tidak sekolah. Keluargaku adalah keluarga yang sederhana. Sejak ayahku tiada, ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu mempunyai sebuah kios di Pasar Baru dan hanya itulah tumpuan hidup keluargaku. Kedua kakakku pun saat itu masih mengenyam bangku sekolah.

Masa-masa SMP adalah yang terindah sepanjang menempuh pendidikan. Saat itu aku mulai mengenal yang namanya cinta. Sempat juga mendapat malu gara-gara ketahuan merokok di sekolah oleh Pembina OSIS sampai ditampar didepan murid-murid yang lainnya, hal itu membuatku jera dan tak mengulanginya lagi. Aku semakin giat belajar, nilai raportku Kelas 1 di atas rata-rata. Aku merasa semua mata pelajaran terlihat sangat mudah, sehingga aku mencoba peruntungan di kegiatan non akademik. Mencalonkan diri menjadi Ketua OSIS membutuhkan keberanian yang besar, tapi aku tak mau mundur. Berkas-berkas persyaratan sudah diberikan dan tinggal menunggu hasilnya. Sedikit tak yakin akan menang, namun dewi fortuna ada dipihakku. Aku terpilih sebagai Ketua OSIS periode 1998 – 1999. Jabatan ini membuat aku semakin sibuk. Program kerja OSIS yang aku susun cukup banyak, baik kegiatan di dalam atau di luar sekolah. Mulai dari mengurus ekskul, lomba gerak jalan, hiking, MC untuk beberapa acara dan lain sebagainya. Pernah waktu itu aku terlalu sibuk mengurus berkas untuk lomba gerak jalan sampai tidak sempat sholat Jum’at. Saking banyaknya program yang aku buat, hingga teman-teman mengecapku sebagai Ketua OSIS gila.

Jabatan sebagai Ketua OSIS menjadikan aku layaknya selebritis di sekolah, semua orang mengenalku dan itu memudahkanku untuk mendapatkan cewek. Tak sedikit cewek yang mendekatiku, tapi aku tahu bahwa mereka begitu hanya karena aku ini seorang Ketua OSIS. Bagaimana bila aku hanya orang biasa, apakah mereka masih bersikap begitu? I’m not sure.
Cinta monyetku yang pertama adalah Widi, nama lengkapnya Widi Lestari. Dia berbeda dengan cewek-cewek maniak yang mengejar-ngejar aku. Dia manis, imut dan pintar. Aku menyukai kepribadiannya. Masih tergambar jelas wajahnya di pikiranku saat kita berdua diminta membacakan puisi didepan teman-teman. Dia terlihat gugup, tapi aku tahu dia berusaha menyembunyikannya.

Prestasiku yang bagus di kelas 1 membuatku mendapat beasiswa Siemens. Beasiswa ini aku terima selama kelas 2. Aku senang, namun tak berlangsung lama. Kegiatan OSIS menyebabkan waktuku untuk belajar menjadi berkurang. Di kelas 2 prestasiku menurun, mulai dari caturwulan 1 sampai caturwulan 3 tak ada ranking kudapat. Berdasarkan pengalaman di kelas 2, aku mulai mengurangi kegiatan non akademikku di kelas 3. Aku terus belajar dengan giat, hasilnya selama kelas 3 aku selalu mendapat ranking 2 di kelas dan aku pun lulus dari SMP dengan nilai yang memuaskan hingga aku bisa diterima di SMU Negeri 1 Cilegon.

Masa puberku di SMU tidak terlalu berkesan, yang aku ingat hanya saat aku dimarahi oleh guru Fisika karena nakal dan saat itu aku punya seorang soulmate yang bernama Goday. Setelah lulus dari SMU aku sempat berpacaran dengan seorang penyanyi dangdut, namun itu hanya bertahan 7 bulan karena lelah sering diselingkuhi. Pernah juga aku berpacaran dengan seorang SPG, itu pun tak berlangsung lama, hanya 2 bulan saja. Setelah itu aku hanya TTM atau HTS-an dengan beberapa orang.

Kebiasaan usil dan gombalku yang sudah ada sejak kecil masih terbawa sampai sekarang. Aku bahagia memiliki banyak teman. Mereka pun sudah tidak asing mendengar gombalan-gombalanku. Hubunganku dengan teman-teman SD sampai SMU masih terjalin baik, kami sering mengadakan reuni setiap tahun pada bulan puasa dan aku sebagai ketua panitianya. Kesibukanku saat ini adalah mencoba membangkitkan usahaku kembali. Setahun yang lalu, kiosku terbakar dan semua isinya lenyap. Aku terpuruk, tapi aku harus kuat demi keluargaku. Mencoba bangkit dan berpositif thinking, aku yakin Tuhan pasti punya rencana yang indah buat aku dan pasti ada hikmah dibalik semua ini. Terima kasih untuk teman-teman yang selalu ada buatku dan memberiku semangat. You’re the best !!!

18 November 2012

Fettuccine Sambal Kecap dan Tahu Bakar ala Visuvius

Hari ini bingung mau masak apa, nungguin tukang sayur dari pagi tapi tak ada satupun yang lewat. Hampir jam 11.00 WITA tiba-tiba terdengar klakson motor tukang sayur. Hmmm...ternyata sayurannya sudah habis, daging pun tak ada, hanya tahu, tempe, cabe, wortel, kentang dan beberapa bumbu saja. Akhirnya aku beli tahu putih, wortel, toge, cabe rawit, tomat dan seledri. Niatku pengen bikin tahu isi :)

Namun, rencana berubah. Pas buka lemari aku liat ada fettuccine dan bumbu bakar. Aku dapat ide!!!
Aku putuskan untuk bikin Fettuccine Sambal Kecap dan Tahu Bakar.

Bahan-bahan :
1 bungkus Fettuccine La Fonte, rebus hingga matang
1/2 bungkus bumbu bakar pedas Kobe
5 buah tahu putih, @ potong menjadi 4 bagian
5 batang seledri, iris kasar
4 siung bawang merah, iris kecil
2 buah tomat, iris kotak kecil
10 buah cabai rawit, iris tegak lurus (jumlah bisa disesuaikan dengan selera)
250 ml kecap manis (bila suka manis, bisa disesuaikan dengan selera)
2 sdm minyak goreng

Cara membuat :
1.  Campurkan bumbu Kobe dengan minyak goreng, aduk hingga tercampur semua. Lalu masukkan tahu putih yang sudah di potong-potong lumuri dengan bumbu  ke seluruh permukaannya, agar bumbu lebih meresap, tusuk tahu dengan garpu sehingga bumbu bisa masuk ke dalam pori-poti tahu. Diamkan selama 5 menit. Setelah itu bakar tahu dengan api kecil hingga matang. (alternatif lain, bisa juga di panggang di atas pan tanpa menggunakan minyak)
2. Untuk membuat sambal kecapnya, campurkan bawang merah, cabai rawit, tomat dan kecap manis. Aduk hingga merata.
3. Tuang fettuccine ke piring/wadah saji, siram dengan sambal kecap, hias tahu diatasnya lalu beri taburan seledri. (untuk 6 porsi)

Itu tadi resep sederhana dan resep dadakan hari ini. Mudah kan? 
Selamat mencoba \(*-*)/

NB: untuk garnish bisa disesuaikan dengan selera ya...

LowkeR



Terkadang apa yang terjadi adalah sesuatu yang tidak diharapkan
or
Terkadang apa yang diharapkan tak selalu menjadi kenyataan
Begitulah kehidupan

Sekitar 7 bulan yang lalu, aku mendapat informasi tentang lowongan pekerjaan di PT. SSB. Lowongan yang dibutuhkan adalah accounting. Perusahaan tersebut sangat membutuhkannya segera karena accounting yang lama mengundurkan diri (dengan alasan mengikuti suami). 

Tanpa pikir panjang, aku langsung mengirimkan lamaran ke perusahaan tersebut. Seminggu kemudian, aku dipanggil untuk test. Mulai dari test komputer, test IQ, TPA, Toefl dan wawancara. Setelah semua test selesai, orang bagian HRD mengabarkan bahwa aku lulus test dan diterima, nanti akan diinformasikan lagi tanggal mulai masuk kerja sambil menunggu job offering dari kantor pusat (di Jakarta). Aku juga diminta untuk bersiap-siap mengikuti training di Samarinda selama 3 minggu. Senang? jelas! karena itu adalah hal yang sangat aku tunggu. 

Beberapa tawaran pekerjaan/ ajakan untuk travelling dari seorang teman aku tolak semua, dengan alasan aku akan siap-siap untuk mulai bekerja. Perlengkapan untuk berangkat training pun aku siapkan, packing  baju dan  membeli beberapa celana jeans (karena di SSB bekerja menggunakan jeans, hem seragam dan sepatu boots). Namun anehnya, setelah informasi penerimaan tersebut, tak ada kabar apapun. Aku menunggu sampai 2 minggu, 1 bulan, sampai akhirnya 3 bulan belum juga ada kabar hingga akhirnya aku putuskan untuk bertanya langsung ke bagian HRD yang waktu itu mengabarkan bahwa aku di terima. Percakapannya kurang lebih seperti ini :

Aku : "Selamat siang, maaf mas mau tanya kapan saya mulai masuk kerja?"

HRD : "Siang mba. Waduh bagaimana ya saya menjelaskannya. Hmmm.. job offering dari Jakarta belum turun, terlebih lagi ada masalah budget yang belum disetujui. Jadi saya juga belum bisa memastikan kapan mba mulai bekerja."

Aku : "Oohh begitu. Kira-kira kalau boleh tau, saya harus menunggu sampai kapan?"

HRD : "Mungkin sekitar 1 tahun lagi, atau semisal nanti ada kabar dari pusat, mba akan langsung saya kabari"

Begitulah penjelasan yang kudapat. Anehnya lagi beberapa minggu setelah informasi tersebut, aku mendapat kabar dari salah seorang teman yang bekerja di kantor sebelahnya kantor SSB. Dia mengatakan bahwa di SSB ada karyawan baru seorang wanita. Hmmm...membingungkan! ketika wawancara, sang bos mengatakan bahwa hanya membutuhkan 1 orang untuk posisi accounting, jikalau aku diinfokan diterima bekerja sebagai accounting, lantas orang itu ada di jabatan apa? atau memang dia yang diterima sebagai accounting, tapi kenapa aku dikabari bahwa aku diterima? Terus, katanya (menurut informasi temanku) wanita itu bernama N****, padahal saat test, mulai dari test awal sampai akhir aku tidak bertemu/ tidak melihat nama itu di daftar calon pelamar. Ada juga berita yang kudengar bahwa suami dari N**** adalah teman sang bos. 

Well, yang aku sesalkan bukan karena tidak jadi bekerja di perusahaan tersebut, tetapi mengapa itu bisa dilakukan oleh sebuah perusahaan yang mempunyai nama besar.

Aku yakin Tuhan tak pernah tidur. Dia pasti lebih mengetahui apa yang terbaik untukku.
Rejeki itu bukan sandal jepit, tak mungkin tertukar dengan yang lain \(^_^)/

Cerita ini aku tulis tanpa bermaksud merendahkan pihak lain, tetapi hanya untuk berbagi pengalaman saja.


VuL oF LuV