28 September 2001
Sore itu kulihat seorang gadis berdiri di sebrang ruanganku sambil
memegang sebuah buku, rasa lelah terlihat diwajahnya. Saat itu aku ikut organisasi
perkumpulan pengusaha
yang mengadakan seminar di salah satu hotel berbintang di Jogja. Melihat gadis
tadi, terbesit rasa iba dalam hatiku. Aku mendekatinya seraya membawakan sebuah
kursi.
“Mau duduk?” Kataku sambil menaruh kursi disampingnya.
“Iya.” Jawabnya.
“Pake aja kursiku, soalnya kalo kerja aku ga duduk.”
“Oke, makasih ya.”
“Sama-sama."
Tampak senyum manis terpancar dari wajahnya, sesaat aku terbuai
dengan senyuman itu hingga aku tersadar harus menggandakan materi seminar.
Mesin photocopy yang jaraknya tidak
begitu jauh dari tempat gadis itu berada membuat aku sesekali memandangnya.
Senyum, tawa dan gerak-geriknya memancarkan kecantikan yang membuatku kagum. Dengan
ramah, dia menawarkan produk fashion dari Butik tempat dia bekerja. Aku
terpana! Ooh tidak, mungkinkah aku jatuh cinta pada pandangan pertama?
Akhirnya urusan per-photocopy-an
selesai juga, kuhisap sebatang rokok untuk menghilangkan penat dan kali ini kuberanikan
diri mendekati gadis itu lagi. Kupikir
kesempatan tak akan datang dua kali, mungkin saja besok aku tak bertemu dia
lagi. Kami pun berkenalan. Namanya Nina, tak terlihat rasa canggung pada
dirinya meski kami baru saja kenal. Kami mengobrol cukup lama, dan akhirnya dia
berkata
“Ini nomor telepon kantorku, kalo mau telepon antara jam 12.00
– 13.00 ya”
“Oke.” Jawabku.
Seminggu kemudian.
“Hallo…” terdengar suara diseberang pesawat telepon.
“Hallo, bisa bicara dengan Nina? Kataku.
“Saya sendiri. Ini siapa?”
“Fauzan”
“Hai, apa kabar?”
“Baik. Gimana kabarmu?”
“Alhamdulillah baik.”
“Ga sibuk, kan?”
“Ga kok, kan jam istirahat”
“Udah makan siang?”
“Belum, tapi tenang aja aku udah bawa bekal makan siang, jadi
ga perlu keluar kantor.”
“Maaf ya kalo aku ganggu waktu istirahatmu. Kapan-kapan boleh
ketemu kamu ga?” “Boleh. Datang aja kesini pas jam istirahat.”
Tiba-tiba terdengar suara pintu box telepon umum diketuk dari
luar dan tampak seorang laki-laki berdiri dengan wajah kesal.
“Nina, udah dulu ya. Makasih udah mau ngobrol sama aku.”
“Iya sama-sama, makasih juga udah mau telepon aku.”
Telepon pun kututup, aku buru-buru keluar dari box dan berjalan
kearah gerbang kampusku yang terletak di wilayah Barek.
13 Oktober 2001
Kami telah janjian untuk ketemu hari itu, tepat satu
hari setelah hari ulang
tahunnya.
“Hmmm… mau makan dimana?” Ucapnya.
“Terserah kamu, kan kamu yang tau daerah ini.” Jawabku.
“Ok. Kamu suka burger?”
“Suka.”
Kami pun berjalan menuju sebuah tempat makan yang khusus
menjual burger, tak jauh dari tempat dia bekerja. Kami memilih tempat duduk.
Dia tersenyum sambil menawarkan menu apa yang akan kupesan, lalu dia beranjak
dari kursi dan menyerahkan kertas pesanan ke pelayan yang berdiri dekat kasir.
Sementara itu aku merogoh kantong celana untuk memastikan sesuatu sebelum dia
kembali ke kursinya. Sembari menunggu pesanan datang, kami mengobrol dan ….
“Selamat ulang tahun ya..” Kataku sambil meraih tangannya dan
menggenggamnya. Aku keluarkan sebuah cincin perak dari kantong celanaku dan
memasangkan di jari manisnya.
“Makasih ya..” Katanya. Dia tersenyum, tersipu malu.
“Sama-sama.” Jawabku.
Genggaman tanganku terlepas seiring datangnya pelayan yang
membawa pesanan kami. Setelah burger habis dan sebelum kami berpisah, aku
berkata padanya…
“Hmmm… kamu mau ga jadi pacarku?”
Sesaat dia terdiam, lalu berkata..
“Maaf… aku ga bisa jawab sekarang, datang aja dulu ke rumahku
nanti aku kasih tau jawabannya.”
Aku menyetujuinya, kami janjian untuk bertemu di halte bus
besok. Setelah dia membayar makan siang kami sebagai traktiran di hari ulang
tahunnya, kami pun berpisah. Dia harus kembali bekerja.
14 Oktober 2001
Aku berjalan dari kos menuju utara kampus Kehutanan UGM untuk
menunggu bus kota yang kearah Wirobrajan. Peluh mulai membasahi dahi dan
tubuhku karena cuaca hari itu cukup panas. Bus yang aku tunggu pun datang dan
membawaku ke Wirobrajan. Sesampainya disana Nina belum kelihatan hingga
beberapa menit kemudian aku melihatnya turun dari sebuah bus dan berjalan
kearahku.
Kami bergegas menaiki bus Jogja – Wates dan duduk
berdampingan karena kebetulan ada 2 bangku yang kosong. Jantungku berdegup
kencang, jujur saja aku merasa gugup duduk bersebelahan dengannya, apalagi saat
secara tak sengaja kami bertatapan dan lagi-lagi aku terpana melihat senyum
manisnya. Aku juga tak sabar ingin mengetahui apa kira-kira jawaban dia tentang
pernyataanku kemarin.
Kami turun di pertigaan PLN. Nina
memberitahukan alamat rumahnya dan menyuruhku untuk naik ojeg duluan. Aku
menuruti saja apa katanya. Abang tukang
ojek membawaku sampai di depan rumah Nina.
“Permisi…!” Kataku.
“Ya, mau nyari siapa? Kata seorang wanita dari dalam rumah.
“Ninanya ada, mba?”
“Oohh.. dia lagi ke Jogja, tapi sebentar lagi juga pulang.
Ayo masuk dulu.”
Ternyata wanita itu adalah kakaknya. Dia menanyakan namaku
dan mengajakku mengobrol beberapa saat hingga akhirnya Nina datang, dia
dibonceng seorang laki-laki dengan motor tua berwarna merah yang ternyata itu
adalah teman kakaknya.
“Hai, udah lama nunggu?” Kata Nina.
“Ngga, baru aja kok.” Jawabku.
Kami bersandiwara di depan keluarga Nina, seolah-olah aku dan
Nina tidak berangkat bersama. Aku berbincang bersama Nina dan keluarganya
sampai sore, aku pun pamit pulang berbarengan dengan teman kakaknya tadi.
16 Oktober 2001
Hari itu aku menelepon Nina di tempat kerjanya. Setelah
berbasa basi menanyakan kabar, kuberanikan diri menanyakan jawaban dia atas
pernyataan cintaku yang masih di“gantung”nya.
“Oiya… tentang pernyataanku waktu itu, gimana jawabanmu?”
“Hmmm…iya, aku mau jadi pacar kamu.”
“Serius? Kamu yakin ama jawabanmu itu?”
“Serius! Karena kamu udah mau memenuhi permintaanku untuk
datang kerumahku dan menemui keluargaku. Itu udah tanda bahwa kamu emang
serius.”
“Aku emang ga pernah main-main dalam menjalani hubungan.”
“Iya, aku percaya.”
“Terima kasih atas kepercayaanmu.”
“Sama-sama.”
“Maaf ya, aku harus ke kampus, ada kuliah nih!”
“Oke, makasih udah nelpon aku.”
“Sama-sama, makaasih juga atas jawabannya.”
Dengan perasaan girang bukan main aku berlari masuk
lewat gerbang belakang kampus. Sepanjang menyusuri koridor aku terus saja
tersenyum layaknya orang gila yang baru saja kabur dari rumah sakit jiwa.