Asal Muasal
Pagi itu, Via kesiangan sampai di kantor. Sebenarnya bukan hanya pagi itu saja,
tapi memang sudah menjadi kebiasaan. Itu pun tetap terjadi meski dia sudah
berusaha bangun lebih pagi. Setelah absen di finger scanner, dia menuju ke ruangannya, menyapa beberapa teman
satu ruangan sembari menyalakan
komputer. Satu lagi kebiasaan yang dilakukan Via adalah dia bekerja sambil
memakai headset di kedua telinganya,
alasannya simple, dia hanya ingin
berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Musik di playlist Blackberry mulai berputar, tiba sampai pada lagu Bizzare Love Triangle. Tiba-tiba, ada
pesan BBM yang masuk.
Banyu Abank: "Lagunya bagus ya… (*_*)"
"Hmm… ini BBM siapa? apa mungkin salah satu
temanku ada yang mengganti nama contact-nya?" Pikir Via sambil
membalas "Iya, emang bagus. Maaf,
ini siapa ya?"
Banyu Abank: "Aku Tri."
Via: "Tri siapa? Temanku yang namanya Tri, banyak."
Banyu Abank: "Kamu gak kenal aku."
Via: "Lhaaa trus ini Tri siapa? kok bisa masuk di
kontak BBM-ku?"
Banyu Abank: "Aku juga gak tahu. Aku baru beli BB, eh
ternyata di list contact ada namamu."
Via: "Aneh banget! Emang kamu beli BB dimana?"
Banyu Abank: "Di Jalan Godean"
Tanpa terasa sudah 2
minggu berlalu. Setiap hari BBM-an diisi dengan sapaan atau obrolan tentang
kegiatan yang dilalui, bahkan “Banyu Abank” mengganti namanya menjadi “Banyu
Biru” hanya karena dia tahu bahwa Via menyukai warna biru. Lama-kelamaan dia
pun mengaku siapa nama aslinya, yaitu Tito.
First Sight
Pada suatu waktu
Tito pernah menulis "How beautiful u
r V" di status BBM-nya. Entah maksudnya apa, Via pun tak
menanyakannya. Sampai tiba saat mereka bertemu di bandara untuk pertama
kalinya. Saat itu Via baru mendarat dari Jakarta dan Tito berjanji untuk
menjemputnya. Tito bilang akan menjemput dengan motor, maka Via pun berjalan ke
arah parkiran motor. Tak lama kemudian BBM dari Tito masuk. Dia menyuruh Via
untuk menunggu di lobby bandara saja, tidak perlu menunggu di parkiran motor.
10 menit berlalu, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Via berdiri di depan
lobby bandara sambil memperhatikan setiap motor yang lewat hingga sebuah mobil
Daihatsu Sirion biru berhenti tepat di depan lobby. Keluarlah seorang cowok ABG
berperawakan tidak terlalu tinggi, memakai jeans, berkaos dan berkulit putih.
"Kamu Via?"
"Iya!"
"Aku Tito," sambil mengulurkan
tangan untuk bersalaman, lalu mengangkat koper Via dan menaruhnya di kursi
belakang.
Via pun masuk ke
mobil setelah Tito membukakan pintu depan disamping driver. Mereka meninggalkan bandara dan langsung menuju rumah Via
yang lokasinya tidak begitu jauh dari bandara. Sebagai ucapan terima kasih, Via
men-traktir Tito makan nasi goreng di
dekat rumahnya. Obrolan malam itu hanya seputar identitas diri. Tito sempat mengeluarkan
SIM dan menunjukkannya ke Via.
Nama: Tito R. Tri
Hutomo
Tanggal lahir: 5
Oktober 1990
“Haaahhh... masih muda sekali, selisih 5
tahun denganku.” Via membatin.
Selesai makan dan
mengantar Via pulang ke rumah, Tito pun pulang.
Kejanggalan di Mulai
Keesokan paginya,
seperti biasa Tito menyapa Via di BBM. Semua tampak baik-baik saja sampai ada
BBM dari seseorang bernama Ben*.
*1 bulan yang lalu
Via pernah meminjam mobil dari sebuah rental atas rekomendasi adiknya,
karena rental tersebut lebih murah dibandingkan dengan yang lainnya. Ketika
mengembalikan mobil, Via bertemu seseorang yang pernah dilihatnya di kantor
saat orang tersebut mengantar pesanan ATK. Ben, itu namanya. Ternyata selain
bekerja di toko ATK, dia juga bekerja di rental tersebut. Mereka pun mengobrol
untuk beberapa saat dan bertukar PIN BB*
"Cieee...yang kemarin dijemput pake Sirion."
Via kaget! Darimana
Ben tahu soal hal itu.
"Kok tahu, kamu kenal sama Tito?"
"Ooh.. kemarin aku lagi nganter cewekku ke
bandara."
"Masa sih? kenapa gak nyapa?"
Via merasa ada
sesuatu yang disembunyikan.
"Gak enak, takut ganggu."
"Ihhh… aneh banget, kalau mau nyapa ya nyapa
aja, toh aku gak lagi sibuk."
"Gak ahh… takut cewekku marah."
"Oooh… anggota cowok takut pacar toh, kesian
amat!"
"Bukan pacarku sih, aku juga baru kenal. Aku
lagi marahan sama pacarku, ya sudah aku kenalan aja sama cewek lain. Sebenernya
lebih cakep pacarku, tapi cewek yang ini tajir. Kan lumayan. Ya udah, aku anter
aja ke bandara."
Via merasa ada
maksud tertentu dari Ben, kenapa tiba-tiba dia BBM dan menceritakan sesuatu
yang pribadi. Apa mungkin Ben menyindir seseorang atau berniat memberitahukan
tentang perilaku seseorang?
"Iiihh… Jahat banget sih jadi orang! Mentang-mentang
marahan sama pacarnya, malah selingkuh sama oranglain. Parahhh!!!”
"Hahaha..."
BBM-an pun berhenti.
Perasaan Via menjadi
sangat kuat, dia merasa yakin bahwa hal ini ada hubungannya dengan Tito. Via
pun memutuskan untuk men-delete Tito dari
list BBM-nya. Via sangat tidak
men-tolerir, apabila ada temannya yang berbohong.
Apa yang terjadi???
Tak sampai 1 menit
setelah Via menghapus Tito dari BBM-nya, status BBM Ben berubah menjadi:
"Wah
ada yg kelabakan gara-gara BBM-nya di delete. Sampai nangis-nangis juga gak
akan aku kasih lagi PIN-nya."
Wow...!! Via
tercengang, ternyata dugaannya benar. Ben dan Tito saling mengenal. Semalam,
Tito berencana hari ini akan menjemput Via sepulang dari kantor. Namun, Via
terlanjur kesal gara-gara BBM-an dengan Ben dan secara sepihak dia berencana
membatalkan pertemuan tanpa memberitahu Tito. Seusai jam kerja Via langsung
pulang ke rumah. Jam 7.30 malam terdengar ketukan pintu ruang tamu, Via
membukanya dan ternyata..... Tito yang datang.
"Ngapain kesini? ternyata kamu sama Ben
berencana ngerjain aku kan? Males aku temenan sama tukang bohong!!"
Teriak Via tanpa tedeng aling-aling dan tanpa mempersilakan Tito masuk.
"Tunggu dulu Vi, aku bisa jelasin semuanya.
Kasih kesempatan aku buat jelasin. Aku tadi nyariin kamu di parkiran kantor,
aku tungguin, tapi kamu gak ada. Aku mau BBM juga gak bisa, karena kamu hilang
dari list contact, makanya aku kesini untuk ketemu dan jelasin semuanya."
Kata Tito membela diri.
"Udah, pulang aja sana! Emang sengaja aku
hapus contact-mu dari BBM. Aku udah tahu semuanya, gak perlu dijelasin lagi."
Kata Via sambil mencoba menutup pintu yang terbuka ke arah luar.
"Pliisssss Vi, dengerin aku dulu. Sumpah demi
apapun aku gak ada maksud buat ngerjain kamu. Kalau emang aku ngerjain, ngapain
aku harus tetep nungguin kamu di parkiran kantor, ngapain aku sedih pas kamu
delete contact-ku, ngapain juga aku sampai kesini dan berniat jelasin semuanya."
Kata Tito sembari menahan pintu agar tidak ditutup.
Akhirnya Via memberi
kesempatan Tito untuk menjelaskan. Setelah mengobrol sebentar di depan pintu,
akhirnya mereka pun pergi naik motornya Tito ke Omah Semar, tempat makan di jalan
Melati Kulon. Sesampainya di Omar Semar, Tito mengakui bahwa dirinya memang
mengenal baik Ben dan dari Ben lah dia mendapat PIN BB Via.
"Maafin aku, Vi. Aku emang kenal sama Ben.
Kita sama-sama investasiin mobil direntalan. Dia tahu kalau kemarin aku jemput
kamu di bandara, karena kemarin aku pakai mobil yang ada di rental."
Kata Tito menjelaskan.
“Trus, kenapa Ben cerita soal cowok yang udah
punya cewek lagi berantem sama cewek-nya, trus iseng cari cewek lain yang tajir
buat menghibur?" Tanya Via penasaran.
"Aku sama sekali gak tahu maksud dia cerita
begitu." Jawab Tito mencoba membela diri, tapi tidak menjelaskan
apapun.
"Gak mungkin! Pasti ada maksud dia cerita
begitu. Aku tegaskan ya, aku paling gak
suka punya teman tukang bohong! Lebih baik jujur, meski itu pahit."
Via menjadi sedikit emosi.
"Sumpah, aku gak tahu maksudnya dan aku juga
gak ada maksud untuk bohongin atau ngerjain kamu." Tito menjelaskan
dengan terbata-bata dan matanya mulai berkaca-kaca.
Sejak awal BBM-an
dengan Tito, Via mengetahui bahwa Tito sudah memiliki pacar dan Via menghargai
keterbukaan itu. Bagi Via informasi tersebut penting, karena dengan begitu dia
bisa tahu bagaimana harus bersikap.
"Trus, apa kamu lagi berantem sama pacarmu?
Jujur aja, seburuk apapun kejujuran itu aku lebih menghargainya daripada
kebohongan putih." Via bertanya lagi karena masih tidak yakin. Hatinya
berkata bahwa pasti ada hubungan antara kejadian pertemuan di bandara kemarin
dengan kata-kata Ben.
"Nggak, hubunganku sama pacarku baik-baik
aja. Emang komunikasi kita akhir-akhir ini gak begitu bagus, karena dia terlalu
sibuk dengan pekerjaannya, tapi gak tahu kenapa sejak aku kenal kamu, aku
santai aja meskipun diperlakukan begitu. Aku sama sekali gak ada maksud buat
ngerjain kamu. Sumpah! Sekarang kamu pikir, kalau emang aku mau ngerjain
ngapain aku tetap datang ke kantormu padahal BBM-ku udah di delete. Trus,
ngapain juga sampai aku bela-belain datang ke rumahmu." Masih dengan
terbata-bata Tito menjelaskan, namun kali ini air matanya mengalir membasahi
pipinya.
Via pun luluh,
hampir saja dia juga ikutan meneteskan air mata, tetapi tidak jadi. Akhirnya
setelah makanan mereka habis, mereka berdua meninggalkan Omah Semar dan menuju
rumah sahabat Via untuk mengambil sesuatu. Hanya sebentar saja, lalu Tito
mengantar Via pulang.
Acara di rumah Tito
Untuk beberapa waktu
mereka tidak bertemu sampai akhirnya pada suatu hari Tito memberi kabar akan
melakukan kegiatan sosial dan butuh bantuan untuk mengambil makanan yang akan
dibagikan. Kebetulan sore itu Via tidak lembur, jadi dia menerima ajakan Tito.
Jam 4 sore Tito datang dengan mobil yang dipinjam dari saudaranya. Mereka pun
melaju dengan cepat menuju beberapa tempat untuk mengambil pesanan makanan,
lalu bergegas ke tempat kegiatan karena acaranya sudah hampir dimulai.
Acara berlangsung
dengan lancar. Karena tempat acaranya tidak jauh dari rumahnya, Tito mengajak
Via untuk bertemu kedua orangtuanya. Via sendiri tidak mengerti maksud dari
ajakan Tito. Awalnya dia menolak ajakan itu, karena dia merasa tidak enak,
tidak pantas dan tidak kenal dengan orangtua Tito. Namun, Tito terus
membujuknya dan meyakinkan bahwa orangtuanya tidak keberatan. Well, akhirnya Via menerima ajakan itu.
Sesampainya di rumah
Tito, benar saja, Via disambut hangat oleh kedua orangtua dan adiknya. Mereka
pun makan malam bersama. Semua tampak baik-baik saja sampai akhirnya Via merasa
tidak nyaman karena ucapan ayahnya Tito.
"Berapa bersaudara?'' Tanya ayahnya Tito.
"Dua, pak." Jawab Via.
"Wah, bapaknya takut miskin ya? kok anaknya
cuma dua." Ayahnya Tito mengomentari.
"Hfffttt... kok aneh banget sih komennya."
Via tidak menjawab, hanya tersenyum dan membatin.
Makan malam selesai.
Ayah, ibu dan adik Tito sholat maghrib di mushola rumah yang terletak di lantai
satu. Anehnya, ibunya Tito menyuruh Via untuk sholat di mushola lantai dua. Via
menurut saja, dia naik ke lantai 2 dari rumah besar dan panjang yang hanya
dihuni oleh 4 orang itu. Via pun sholat bersama Tito di mushola lantai 2.
Via pamit pulang.
Namun, sebelum mengantar Via pulang, Tito mengajak Via untuk mengembalikan
mobil saudaranya yang tadi dipinjam dan sekaligus mengambil motornya yang
dititipkan disana. Di rumah saudaranya Tito, Via bertemu dan dikenalkan dengan
3 orang, yaitu paman, bibi, dan neneknya.
“Nah, kalau cari pacar yang kayak gini.
Tinggi.” Celetuk neneknya yang masih terlihat kuat, meski sudah duduk di
kursi roda.
Via hanya tersenyum
tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Urusan pengembalian
mobil sudah selesai. Tito pun mengantar Via pulang, mampir membeli pizza, lalu
mengantarkan pizza tersebut ke rumah mbak Dina, teman kantor Via. Saat di
tempat pizza, Tito agak sedikit “aneh”, tingkah lakunya seperti orang yang
belum pernah masuk dan makan pizza disana. Via jadi teringat kata-kata Ben,
sejenak dia merasa kata-kata itu benar, tapi ah mungkin saja itu salah. Via
mencoba menghilangkan dugaan itu dari pikirannya.Keesokan paginya mbak Dina
bilang "Kalian mirip lho..."
Hari ulang tahun kakaknya Tito.
Tito meminta bantuan
Via untuk membawakan kue tart ke rumah kakaknya yang sedang berulang tahun,
karena dia kesulitan untuk membawanya sendiri dengan menggunakan motor. Usai
membeli tart di salah satu toko kue terbesar di kota ini, mereka melanjutkan
perjalanan menuju rumah kakaknya Tito. Sama seperti di rumahnya, sambutan
hangat pun terasa lagi, kakaknya menyambut dengan ramah. Usut punya usut,
berdasarkan obrolan dengan kakaknya, ternyata mertua kakaknya itu masih punya
hubungan saudara dengan tetangga neneknya Via. Entah bagaimana menjelaskannya,
agak rumit memang. Tak lama setelah makan malam dan sholat maghrib, Tito dan
Via pamit pulang. Mereka berdua pulang melewati arah lain, bukan jalan yang
sama ketika berangkat tadi. Mereka sempat mampir untuk membeli geblek *makanan yang terbuat dari tepung
kanji yang di goreng* dan bakso di dekat Stasiun.
Berbuka puasa dengan Tiwi
Tiwi adalah sahabat
Via. Mereka berdua berencana untuk buka puasa bersama di suatu restoran cepat
saji di salah satu Mall. Tiwi mengajak adik pacarnya, dan Via mengajak Tito.
Namun, kebetulan sekali hari itu ayah Tito akan berangkat ke Jakarta naik
kereta dan Tito diminta untuk mengantarnya ke Stasiun. Via sudah mengatakan
pada Tito untuk tidak memaksakan diri bila memang tidak bisa datang.
“Kalau gak bisa datang, gak usah dipaksakan,
toh ini bukan acara penting.”
“Gpp, beib. Nganter bapak kan cuma bentar
aja, paling juga sebelum buka puasa aku udah sampai di Mall.” Balas Tito
lewat BBM.
Benar saja, sekitar
5 menit sebelum buka, Tito sudah sampai. Padahal jarak dari Stasiun ke Mall
sekitar 29 km dan dia hanya butuh waktu 15 menit. Via curiga, bagaimana bisa
dia secepat itu, sementara jalanan pasti sangat macet menjelang berbuka?
Lupakan sejenak, akhirnya mereka berempat buka puasa bersama.
Tito Diputusin pacarnya
Suatu malam, Tito
menelepon Via sambil menangis tersedu-sedu.
“Vi, aku putus sama pacarku.”
“Lho, kenapa? Kalian berantem?”
“Iya. Dia mutusin aku, karena dia sudah punya
laki-laki lain yang lebih pintar dan lebih mapan, sementara aku, kuliah aja
belum lulus.”
“Waduh, kok begitu. I’m sorry to hear that.
Sabar ya, udah gak usah nangis, gak usah sedih, kan teman-temanmu banyak.”
“Hmmm… Makasih ya, Vi.”
Sebenarnya Via
merasa aneh dengan kejadian ini, kenapa tiba-tiba pacarnya Tito minta putus.
Via ragu antara harus berpikir positif bahwa hal itu memang seharusnya terjadi
atau berpikir negatif bahwa Tito menginformasikan putus agar bisa lebih dekat
dengannya ???
Keanehan Semakin Kentara
Waktu terus
berjalan, pertemanan antara Via dan Tito pun semakin akrab, bahkan mereka
saling memanggil “beib”. Seperti ada
ikatan saling membutuhkan antara keduanya, namun Via merasakan kejanggalan dari
beberapa tingkah laku dan perkataan Tito. Misalnya saja, setiap jam 7 sampai
jam 10 malam, Tito menghilang bagai ditelan bumi dan terbenam bersama matahari.
Tidak ada BBM, SMS apalagi telepon saat jam-jam tersebut. Terkadang ada juga
kata-katanya di BBM yang tidak sinkron dengan kenyataan. Bukan hanya sekali, bahkan
lebih dari 10 kali Via men-delete Tito
dari list contact BBM-nya tapi
akhirnya mereka bisa BBM-an lagi karena Tito selalu meng-invite-nya kembali. Via juga pernah mengatakan pada Tito untuk
tidak menemuinya lagi, but it doesn’t
work.
Tito menjadi sering
terlihat cemburu saat handphone Via
berbunyi, entah ada BBM/ SMS/ Twitter pasti Tito selalu ingin tahu, “Dari
siapa?” “Itu siapa?” “Kok BBM-nya kayak
gitu?” Selalu saja ada pertanyaan, sebenarnya Via agak risih dengan sikap possessive Tito.
Sepatu Kappa Putih
“Beib, ada tamu yang nyarter mobilku. Lusa
aku mau nganter mereka keliling Jogja, boleh pinjam sepatu Kappa-mu yang putih?”
“Hmmm… coba deh besok, kira-kira aku pakai
ngga. Kalau ngga ya pake aja.”
Entah kenapa
terlintas dipikiran Via bahwa Tito mengincar sepatunya, karena beberapa kali
dia memuji sepatu itu sambil berkata “kayaknya
kalau buat aku, cocok nih...”
2 hari kemudian
pagi-pagi sekali Tito ke rumah Via untuk mengambil sepatu.
“Ini sepatunya, dijaga baik-baik ya, jangan
sampai kotor/ rusak!”
“Siaaaap beib, tenang aja sepatunya akan aku
balikin utuh.”
Beberapa hari
kemudian Tito menghubungi Via lewat BBM.
“Beib, nanti siang pas istirahat aku ke
kantormu ya. Mau balikin sepatu. Sekarang sepatunya masih aku jemur.”
“Okay, beib. Kabarin aja kalau udah sampai
parkiran, nanti aku turun.”
….
….
“Beiiiiiiibbb, aku udah sampai parkiran.”
“Yoiii.. wait a minute!”
Via pun turun dari
kantornya yang berada di lantai 3 dan langsung menuju ke parkiran.
“Ini sepatunya, makasih ya beib, pas banget
ukurannya di kakiku. Udah aku cuci juga lho ini…” Kata Tito sambil
mengulungkan sepatu yang dibuntel kresek.
“Syukurlah kalau emang pas, berarti ukuran
kaki kita sama donk. Waah..makasih juga udah dicuciin. Trus gimana kemarin
acaranya, jalan-jalan kemana aja?” Tanya Via sambil menerima buntelan sepatu itu.
“Tamu-ku kemarin tuh satu keluarga. Ayah,
ibu, dan 2 anak. Anaknya masih kecil-kecil, lucu. Mereka terlihat seperti
keluarga yang bahagia. Mereka aku antar ke Keraton, Pantai Parang Tritis, Toko
Souvenir, Malioboro, Alun-alun dan Candi Borobudur. Pas lihat mereka turun dari
mobil, begitu sampai di salah satu tempat wisata, ayah dan ibunya menggandeng
anak-anak mereka, tiba-tiba aku membayangkan kalau itu kita, beib. Aku pengen
kayak gitu, pasti bahagia banget rasanya.”
“Wow, so sweet banget ya mereka. Hehehe…
pasti bikin semua orang ngiri. Oiya, maaf, aku harus segera balik lagi ke
kantor, takut dicariin pak Bos.”
“Oke beib, aku juga mau ke Kampus.” Kata
Tito sambil memutar balik motornya.
“Hati-hati ya!” Via melambaikan tangan
sambil berjalan meninggalkan parkiran.
Syuting Acara Kantor
Waktu itu semua
karyawan di kantor Via diminta untuk menghadiri acara talkshow dari sebuah
Stasiun TV lokal guna membahas kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan
tempat Via bekerja. Via berangkat bersama temannya satu kantor, tapi saat
pulang Tito sudah menunggunya diparkiran dengan mobil. Padahal sebelumnya Via
sudah bilang pada Tito untuk tidak menemuinya lagi, tapi sepertinya larangan
itu tidak dipedulikannya, dia tetap datang menjemput. Akhirnya Via pulang
bersama Tito.
Pertengkaran di Lampu Merah
Malam itu Via kerja
lembur, dia baru pulang sekitar pukul 9 malam. Tak seperti malam-malam lainnya
dimana Tito selalu menghilang saat pukul 7 – 10 malam, malam itu Tito
menghubungi Via.
“Beib, udah pulang belum?”
“Belum, bentar lagi. Ini masih ada laporan
yang harus diselesaikan.”
“Tapi tadi udah sempat makan kan, beib?”
“Udahlaahh…. kan dipesenin makan malam sama
kantor.”
“Syukurlah, nanti kalau udah mau pulang
kabarin ya.”
Sekitar 15 menit
kemudian.
“Aku udah mau pulaaaaaang \(^_^)/”
“Oke beib, aku jemput ke sana ya…”
“Ngga usah, aku berani pulang sendiri.”
“Hmmm…”
Via pun membereskan
mejanya dan berjalan turun dari kantor menuju ke parkiran.
“Looohh…kok udah sampai sini? Kan aku bilang
ngga usah kesini, aku bisa pulang sendiri.“ Via kaget saat melihat Tito
sudah nangkring di atas motornya, di
parkiran kantornya Via.
“Kan aku udah bilang mau jemput kamu, beib.”
Akhirnya Via pulang
ke rumah ditemani Tito dengan motor mereka masing-masing. Saat melewati lampu
merah, mereka berhenti bersebelahan.
“Kamu ngapain sih pake acara nganter segala,
ini kan udah malam, ntar di cariin bapak-ibumu lho.”
“Kan bentar aja, lagian coca cola-ku yang
dibeliin my beiby ketinggalan di rumah my beiby.”
Via kaget mendengar
itu, dia langsung menepi ke trotoar dan diikuti Tito.
“Apaaaa??? Gara-gara coca-cola??? Jadi
maksudmu nganter aku pulang cuma karena coca cola yang ketinggalan? Lagian
kalau hanya coca cola aja, besok bisa aku bawain. Mau berapa krat, hah? Kamu
itu laki-laki macam apa sih coca cola segitu doank aja sampe segitunya.”
“Lho kok kamu gitu, beib? Aku salah ya? Ya
udah aku minta maaf.”
“Gak perlu! Ternyata kamu tuh pikirannya kaya
gitu, sepatu aku, makan-makan di resto bareng aku, nyaranin beli baju kembaran
3, belanja macem-macem. Sana pulang!! Pulaaaaaaaang!!! Aku gak mau ketemu kamu
lagi!”
“Beiiiiib, tenang dulu donk. Aku tadi tuh cuma
bercanda, gak ada maksud apa-apa. Ya maaf, kalo aku salah.” Kata Tito
dengan mata berkaca-kaca.
“Aku capek tahu! Perasaan aku selalu
mengatakan kalo kamu itu cuma ngerjain aku aja. Aku sendiri gak tau apa
alasanmu melakukan ini semua. Entah ada suatu kebanggaan tersendiri atau kamu
lagi bertaruh sama teman-temanmu di rentalan?” Via terus saja marah-marah
tanpa peduli banyak orang yang memperhatikan mereka.
“Ya ampun beib, kenapa pikiranmu sampai
kesana. Aku sama sekali gak ada niat buat ngerjain kamu. Udah beib, ayo pulang,
gak enak tuh dilihatin banyak orang.”
“Bodo amat!! Kalo kamu malu, sana pulang aja,
gak usah ngurusin aku!” Via geram.
“Heehh… Apa lo liat-liat, gue hajar tahu
rasa!” Teriak Via pada seorang pria di mobil pick up yang memandanginya
dari sejak lampu menyala merah sampai lampu sudah menjadi hijau.
“Iya, aku akan pulang, tapi aku nganter kamu
dulu sampai rumah. Aku mau mastiin kamu baik-baik aja sampai di rumah.”
Kata Tito perlahan, diikuti air mata andalan
yang mengalir membasahi pipinya.
Satu jam berlalu,
marah via mulai mereda. Akhirnya Tito mengantar Via sampai rumah, lalu dia pun
langsung pamit pulang.
Acara Kampusnya Tito
Tito mengabarkan
bahwa besok kampusnya akan mengadakan acara talkshow
tentang pariwisata. Pihak kampus ingin acara tersebut dihadiri banyak
orang, setiap siswa diminta untuk mengajak teman-temannya. Syaratnya mudah,
cukup memakai jas almamater kampus saja. Keesokannya, Tito datang ke rumah Via
sambil membawa jas almamater milik kakak angkatannya yang sudah lulus dan
mereka pun berangkat ke “TKP”. Suasana di gedung itu ramai, banyak dosen dan
teman-teman kuliah Tito. Via merasa asing, kikuk lebih tepatnya, bagai
penyelundup yang mencoba “biasa” di lingkungan yang “tidak biasa”. Tito sepertinya
menyadari hal itu, dia berusaha membuat Via tenang. Dia selalu berada di
sebelah Via tanpa mempedulikan sekitar, padahal Via sudah mempersilakan Tito
bila ingin membaur, mengobrol atau bertegur sapa dengan teman-temannya sebelum
acara dimulai. Namun, Tito terus saja disamping Via sampai acara selesai.
Acara berjalan
lancar, berlangsung sekitar 1 jam. Semua orang tampak berjalan keluar dari
ruang pertemuan menuju aula depan. Disitu, seorang dosen mengumumkan kepada
semua mahasiswa untuk malam malam bersama di sebuah restoran. Akhirnya mereka
pun berangkat beramai-ramai dengan kendaraan masing-masing.
Sesampainya di
restoran, Via dan Tito duduk di paling pojok, tepat di depan dosen yang tadi
memberi pengumuman. Via semakin merasa tidak nyaman, tapi apa boleh buat, kursi
yang kosong hanya tinggal itu saja. Sambil menunggu makanan, orang-orang saling
mengobrol satu sama lain. Tito pun mengajak ngobrol Via, dia sama sekali tidak
menghiraukan teman-temannya, hingga mendadak sebuah suara terdengar…
“Mbak, angkatan tahun berapa?” Tanya
Dosen yang duduk tepat di depan Tito, tiba-tiba.
Via kaget, bibirnya
yang semula bergerak karena sedang ngobrol dengan Tito mendadak bungkam,
matanya langsung melirik kearah Tito dan jantungnya serasa berhenti beberapa
detik.
“Waduuhh, pasti pak Dosen curiga kalau aku
ini penyelundup.” Via membatin.
Belum sempat Via
berkata, Tito langsung menjawab sambil menepuk pundak Via.
“Oohh…dia ini angkatan tahun 2007, Pak.”
“Pasti bukan anak kampus kita, ya?” Pak
Dosen bertanya lagi sambil tersenyum.
“Hehehe…iya, bukan, Pak.” Kata Via sambil
membalas senyuman itu dan berusaha menutupi ke-grogi-annya.
“Iya, Pak. Dia bukan dari kampus kita. Dia
sengaja saya ajak buat nambah peserta.” Tito langsung menyambar.
Makanan datang.
Setelah selesai menyantap dan melahap semua makanan yang tersaji, mereka pun
pulang.
Kopeng
Kantor Via
mengadakan pelatihan di daerah Kopeng, sekitar 3 jam perjalanan kalau dari
Jogja. Waktu itu Tito menjemput dan mengantar Via sampai ke parkiran kantor,
karena pihak kantor sudah menyediakan bus untuk transportasi. Sehari
sebelumnya, Tito menyarankan agar Via tidak usah berangkat dengan bus, tapi
dengan motor saja. Dia berniat untuk mengantar Via, namun Via menolaknya. Entah
apa yang ada dipikirannya, saat hari H dia malah mengikuti bus Via sampai ke
Kopeng. Walhasil, semua teman sekantor Via mengetahui sosok Tito dan gara-gara
itu Via menjadi hot gossip.
Jas Hujan dan Tas
Hari itu tanggal
merah, langit di atas rumah Via masih gelap, antara gelap karena terlalu pagi
atau gelap karena sisa hujan semalam. Tito menghubungi Via, dia mengatakan
sudah menunggu di depan rumah Via. Tanpa persiapan, akhirnya Via pergi bersama
Tito. Tito akan mengantar Via untuk melihat matahari terbit. Di tengah jalan,
awan mendung yang tadinya tidak ada mendadak mendekat dan berhenti tepat diatas
kepala mereka berdua. Hujan pun turun dengan derasnya. Mereka menepi sebentar
didepan sebuah rumah dan berencana melanjutkan perjalanan setelah memakai jas
hujan. Tito membuka bawah jok motornya untuk mengambil jas hujan, namun
seketika itu Via terkejut. Jas hujan Tito, basah!
“Lho, kok jas hujannya basah?” Tanya Via
penasaran.
“Ehmm… itu…itu bekas kemaren lusa, lupa gak
aku jemur.” Tito menjawab.
Via diam dan
membatin, aneh sekali, tidak mungkin itu basah sejak kemarin lusa, karena
basahnya benar-benar kuyup seperti terkena hujan semalam. Tapi, Tito semalam
BBM kalau dirinya tidak pergi kemana-mana, dia di rumah saja dan dia
“menghilang seperti biasanya” (tidak membalas BBM) dengan alasan sibuk mengaji.
Via tak mau
memperpanjang masalah itu. Meskipun semua tampaknya baik-baik aja, tapi
sebenarnya Via menyimpan semua keanehan yang terjadi selama ini di otaknya.
Perjalanan pun dilanjutkan walau harus dengan ber-jas hujan ria.
Sesampainya disana,
mereka duduk diatas pasir, memandangi mentari yang mulai terbit dari ufuk timur
sambil mengobrol tentang masalah pribadi masing-masing. Tito duduk sambil
memangku tas-nya, tas yang selalu dibawa kemana pun dia pergi. Selama ini Via
tak pernah merasa se-curiga pagi itu. Tanpa dugaan Tito, Via langsung merebut
tas itu dan menariknya. Awalnya Tito biasa saja, tapi saat Via akan membuka
retsleting tas tersebut, Tito langsung menarik tasnya kembali. Via semakin curiga,
ada apa sebenarnya di dalam tas itu. Via menariknya lagi dan Tito pun
menahannya. Saat Via menanyakan mengapa tas itu tidak boleh dibuka, Tito tidak
mau menjawabnya. Dia tiba-tiba berkata ingin ke kamar kecil karena perutnya
sakit. Dia pun berlari kearah toilet sambil membawa tasnya. Sekitar 15 menit,
dia keluar dan berlagak seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dia mengajak
ngobrol Via dan mencoba merubah tema agar Via tidak menanyakan lagi apa isi
tasnya. Via pun malas untuk mengungkitnya kembali. Akhirnya mereka pulang.
Tanda tanya di pikiran Via pun menjadi semakin besar. Banyak keanehan yang
terjadi, namun Tito tak mau menjelaskannya dan dia selalu bersikap seperti
tidak ada apa-apa.
THE DAY
Sore itu adalah sore
yang cerah, langit biru dihiasi beberapa awan putih. Sang mentari masih
terlihat meski bersembunyi malu-malu di balik awan sebelah barat, bahkan
pelangi pun tak ingin kalah eksis muncul setelah hujan siang tadi.
Tiba-tiba BBM Tito
masuk, “Hei beib, lagi apa?”
“Hmm…lagi siap-siap mau ke supermarket, mau
belanja bulanan.” Jawab Via.
“Ya, udah…hati-hati ya di jalan.”
“Okay!”
Via mengendarai
motornya menuju sebuah supermarket. Sesampainya disana, dia memarkir motornya,
langsung masuk ke supermarket dan mulai memilih barang. Supermarket ini
terkenal murah, sehingga antrian di kasir bisa sangat panjang, terutama saat
“tanggal muda”. Via menyusuri supermarket mulai dari pintu masuk sampai rak
terakhir yang ada di dekat kasir. Sesampainya di kasir, antrian begitu panjang,
masih ada 9 orang dideretan kasir tempat Via mengantri. Kasir di sisi yang
lainnya pun sama, penuh semua.
Sambil menunggu
antrian, untuk mengusir sepi, Via nge-BBM Tito.
“Kamu lagi apa? Udah mandi blm?”
Tito pun membalas.
“Baru bangun tidur neh…belum mandi.”
“Lha, perasaan 30 menit yang lalu BBM aku,
kok sekarang bilangnya baru bangun tidur?” Tanya Via lagi.
Sambil menunggu
balasan BBM, Via maju selangkah demi selangkah di dalam antrian tersebut sambil
mendorong trolley-nya sembari mencocokkan belanjaan yang ada di dalam trolley
dengan daftar yang ia tulis.
Hmmm…antriannya
membuat Via haus, dia meninggalkan trolley-nya dan berlari melewati rak parfum
lalu berbelok kearah lemari pendingin untuk mengambil minuman, kemudian segera
kembali menuju arah kasir melewati jalan yang berbeda. Dia berlari melewati rak
shampoo, saking terburu-burunya, tanpa sengaja dia menabrak punggung orang yang
sedang memilih shampoo. Via ingin segera meminta maaf pada orang itu, namun
belum sempat dia mengeluarkan suara, orang tersebut berbalik badan kepadanya.
Bagai petir di siang bolong yang tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba
menggelegar. Orang yang Via tabrak adalah Tito. Tito pun sama terkejutnya
dengan Via, dia sama sekali tak bersuara.
“Yang, jadinya kamu mau beli yang mana?”
Suara itu keluar dari mulut seorang perempuan yang berdiri di sebelah Tito yang
tampak sibuk memilih shampoo yang ada di rak.
Belum cukup Via
dikagetkan dengan keberadaan Tito di supermarket tersebut, dia pun dikagetkan
lagi dengan suara perempuan itu. Via dan Tito diam seribu bahasa, hanya mata
mereka yang berbicara, namun Via segera meninggalkan Tito dan segera kembali ke
antriannya. Setelah selesai membayar, Via pun pulang ke rumah. Pikiran dan
perasaannya menjadi kacau. Kesal, karena merasa dibohongi, tetapi di sisi lain
juga senang karena dugaannya selama ini benar. Tuhan tak pernah tidur dan
kebenaran pasti akan terungkap. Dan dia yakin kalau hari ini Tuhan telah
menunjukkan kebenaran yang selama ini telah di nantinya.
6 jam kemudian BBM
Tito masuk.
“Hey beib, sorry tadi aku di suruh mama beli
shampoo, eh terus ketemu sama mantanku di lampu merah. Kebetulan dia juga mau
ke supermarket, ya udah jadinya kita bareng. Ini aku baru aja pulang acara
karang taruna.”
Via tak membalas BBM
itu. Dia masih kesal. Dia paling tidak suka dengan orang yang sudah berbohong
padanya. Semua keterangannya terasa sangat janggal. Mulai dari BBM yang
bilangnya baru bangun tidur; cerita soal disuruh beli shampoo sama mamanya
(padahal jarak dari rumah ke supermarket sekitar 18 km); kalaupun katanya itu
sudah mantan, kenapa dia tidak mengejar Via saat di supermarket; dan kenapa
setelah 6 jam dia baru memberi kabar.
Hari-hari
selanjutnya, Tito terus berusaha menghubungi Via melalui BBM, SMS, YM, dan
telepon, tetapi Via tidak mempedulikannya. Hingga di suatu malam terdengar
suara bel rumah berbunyi, Via mengintip dari balik jendela.
“Vi, aku tahu kamu di dalam. Tolong bukakan
pintunya, aku mau menjelaskan semuanya.”
“Gak usah jelasin apa-apa, aku udah tahu
semuanya.” Teriak Via dari dalam rumah.
“Okay! Aku gak akan pulang sebelum kamu kasih
kesempatan aku buat ngomong.”
Hfftt… Via pun tak
punya pilihan lain, daripada anak orang dibiarkan sampai pagi dipinggir jalan,
akhirnya dia membukakan pintu pagar. Tito berjalan perlahan masuk ke teras
dengan lunglai sambil tangannya meraba-raba tembok, seolah dia tak kuat
berjalan.
“Beib, kamu kemana aja? Kenapa gak balas
semua pesanku?” Katanya dengan suara lemah.
“Gak apa-apa, cuma lagi malesss aja!”
“Kok kamu gitu, emangnya aku salah apa sama
kamu? Kamu tau gak, kalau aku kemarin di rawat di rumah sakit. Aku drop,
badanku lemes banget, sampe bapakku dan orang rumah pada panik”
“Lha, malah nanya salahmu apa. Salahmu ya gak
menyadari kesalahanmu itu!!! Masuk rumah sakit? Mana kutahu, kan kamu gak
ngasih tau.”
“Emang aku salah apa?”
“Lha ya apa, kamu pikir aja sendiri.”
“Aku gak tahu beib, kamu bilang dong, salahku
itu apa?”
“Hrrrrr…kamu itu bikin sebeeelllll. Kenapa
sih pake acara bohong segala. Toh, aku gak masalah kamu mau pergi sama temenmu,
mantanmu atau malah pacarmu, tapi tuh jujur doooong. Aku paling gak suka sama
orang yang tukang bohooooong!”
“Aku gak bohong, beib. Kan waktu itu di BBM
aku udah cerita dan semua yang aku katakan itu benar adanya.”
“Gak mungkin! Mana ada orang beli shampoo
jauhnyaaaa… Emang di dekat rumahmu gak ada warung?”
“Itu beneran aku disuruh mama beli shampoo,
sebelumnya mantanku ngehubungin aku, dia minta ketemuan. Ternyata dia menyesal
dan dia minta balikan, tapi dia bilang itu pas setelah belanja dan nganter aku
beli tas.”
“Nah kaaaann… beda lagi ceritanya. Kemarin
bilangnya gak sengaja ketemu di lampu merah. Mana yang benar? Apalagi itu dia
minta balikan, kamu kali yang minta balikan atau jangan-jangan kalian emang gak
pernah putus???”
“Bener, beib… dia itu ngajakim balikan,
bahkan dia udah pernah ngelamar aku.”
“Hah, kaya orang Padang aja, cewek yang
ngelamar. Dia kan orang jawa!”
“Tapi emang begitu. Kalau kamu gak percaya,
telepon aja bapakku.”
“Ogah! Aku gak ada urusan sama bapakmu.”
“Ya udah, yang penting aku udah cerita
semuanya sejujur-jujurnya.”
“Jujur? Sumpah demi apa, kalau itu semua
jujur???”
Tito terdiam, dia
tidak menjawab sepatah kata pun. Badannya gemetaran dan nyaris ambruk. Entah
itu acting atau beneran. Badan Via
juga mendadak lemas dan mau pingsan, namun Tito segera memeganginya. Aneh,
padahal tadi Tito terlihat lunglai, tapi tiba-tiba menjadi cekatan saat “menyambar”
badan Via supaya tidak jatuh, bahkan kuat menggendong Via sampai ruang tamu.
Telepon Misterius
Beberapa hari
kemudian, saat itu hari minggu, Via menghabiskan waktu seharian hanya dengan
tidur. Pekerjaannya di kantor sangat membuatnya lelah, apalagi laporan-laporan
akhir tahun yang harus selesai segera, sesuai deadline.
“You on your knees begging please… stay with
me, but honestly I just need to be a little crazy…..” telepon Via
berdering, membangunkannya dari tidur siang itu. Dengan mata yang masih berat
untuk di buka, dia berusaha mencari asal suara sambil meraba tempat tidurnya,
sampai tangannya berhenti dibawah bantal dan menemukan handphone-nya. Tanpa melihat telepon tersebut dari siapa, dia
menekan tombol accept.
“Halo… Assalamu’alaikum, apa betul ini Via?”
Terdengar suara perempuan menyapa dan bertanya.
Via kaget dan
membuka matanya, lalu menjauhkan telepon dari telinganya sesaat untuk
memperhatikan nomor masuk yang tertera di handphone-nya.
Tidak, dia tidak mengenal nomor itu.
“Wa’alaikumsalam. Ya, benar. Ini siapa ya?”
Via menjawab.
“Aku Cinta, mantannya Tito.”
“Oohh... Ada apa ya, mbak?”
“Hmmm…nggak, aku cuma mau ngejelasin aja
kalau waktu itu aku sama Tito nggak sengaja bertemu dan akhirnya kita pergi
bareng. Aku udah ga ada apa-apa lagi kok sama dia, jadi kamu gak perlu
berpikiran lain.”
“Oohh gitu. Terserah deh kamu mau bilang apa,
tapi aku sama sekali gak peduli. Aku udah muak dengan semua kebohongan ini.”
“Ya udah kalau gitu, aku cuma mau
menyampaikan itu aja. Tolong Tito dimaafkan ya.”
“Gak tahu deh!”
“Maaf udahan dulu, aku ada kerjaan lain.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
…dan telepon pun
terputus.
Semua ini menjadi
semakin aneh, waktu itu Tito bilang mantannya mengajak balikan, tapi hari ini
mantannya malah menelepon dan memohon agar Tito dimaafkan.
Sorenya Tito BBM dan
menanyakan apakah mantannya sudah menelepon atau belum, kali ini Via
membalasnya.
“Beib, tadi Cinta telepon kamu?”
“Hmmm…iya, tadi ada yang telepon ngaku
namanya Cinta.”
“Kaaannn..bener. aku sama dia tuh udah gak
ada apa-apa.”
“Aneh! Kemarin kamu bilang dia ngajak
balikan, lha sekarang dia kok malah telepon aku bilang gak ada apa-apa sama
kamu. Aneh! Semuanya gak masuk akal. Udah deh, kamu ngaku aja. Gak capek apa
bohong terus?”
“Ya ampun beib, bohong apa sih. Aku tuh udah
cerita sejujur-jujurnya, gak ada yang aku tutupin.”
“Kalau gitu, apa kamu berani sumpah kalau
semua yang kamu ceritakan itu adalah yang sebenarnya?”
Via menunggu balasan
dari Tito, tetapi tak ada balasan sama sekali. Via baru ingat kalau ternyata
waktu sudah menunjukan lewat dari jam 7 malam. Seperti biasa, jam segitu Tito
akan lenyap.
Selamat Tinggal, Tito…
Setelah SMS terakhir
yang tak dibalas, Tito menghilang bagai ditelan bumi. Lost contact. Seminggu kemudian, pagi itu jam 8.20 handphone Via berbunyi, ternyata ada SMS
dari Tito yang isinya seperti tak pernah ada kejadian apapun. Innocent.
“Beeeeeeeeiiiiiiibbbbbbbbbb, kangen my beiby.”
Via tak membalasnya
hingga sore ada SMS lagi dari Tito.
“Beeeeeiiiibbbbb, my beiby baik-baik aja kan?”
Sama seperti
sebelumnya, Via pun tak membalas SMS Tito. Namun, dia tak menyerah, dia pun SMS
lagi jam 10 malam.
“Beeeeeeiiiiiibbbbb… I’m sorry I’m crying
beib”
“Aku kangen bangeeeeeet sama my beiby, trus
air mataku mengalir, beib…”
Dan keesokan
paginya, Tito pun SMS lagi.
“Beib, I realized that I’m truly love you…
Maaf beib, kalau aku punya banyak kekurangan.”
Via masih belum mau
membalas SMS Tito. Sebenarnya Via kesal bukan karena Tito kembali dengan
pacarnya atau Tito bertemu dengan pacarnya, tetapi Via merasa Tito terlalu
sering berbohong padanya. Via sangat trauma dengan kebohongan. Hal itu pernah
terjadi pada dirinya saat masih duduk di bangku kuliah, saat dia sangat percaya
dengan sahabatnya yang telah lama dikenal baik, namun ternyata membohonginya
hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Seandainya saja Tito
mengatakan yang sebenarnya sejak awal, mungkin Via tak akan kesal dan masih
tetap mau berkomunikasi.
3 hari kemudian,
Tito kembali mengirimkan SMS ke Via sekitar jam 5 sore.
“My beiby tuh gak salah sama sekali, my beiby
sama sekali gak nyusahin aku, malah my beiby yang memberi arti dihidupku, my
beiby yang udah kasih semangat, my beiby yang pokoknya my beiby udah memberi
warna dalam hidupku. Aku seneeeeeeeng banget bisa bertemu my beiby…”
Via masih belum
membalas SMS itu, Tito pun masih tak mau menyerah dan dia terus saja SMS.
“SMS ku gak nyampe ya, beib? My beiby kemana
aja?”
“SMS ku gak nyampe ya, beib????????”
“My whole live is for you, beib…”
“My beiby, you are the strongest woman I ever
met, beib…”
“I wish I could beside you whatever you feel,
beib… when you happy, when you sick, when you sad, I wanna be there, beib…”
“Aku udah memutuskan untuk menyerahkan semua
hatiku dan cintaku ke my beiby… Makasih untuk semuanya ya, beib…”
“Semua SMS yang udah aku kirim, itu semua
bukan kebohongan, tapi emang yang sebenarnya aku rasakan, beib… Kalau pengen
sumpah, aku juga berani, coz itu emang yang sebenarnya…”
“I wont to hurt you, beib…”
“SMS ku masuk gak sih, beib…”
“Beeeeeeeeeiiiiiibbbb… Aku udah ceritakan apa
yang terjadi dan yang aku rasakan, semua perkataanku itu benar adanya. Janjiku
yang udah terucap itu gak akan berubah sampai kapanpun…”
“Beeeeeeeeiiiiiiiibbbbb…”
“Beeeeeeiiiiibbbb…. Kemana sih beib?”
“Maaf beib, tapi aku gak akan bahagia, karena
semua yang aku punya udah aku serahkan ke my beiby… Makasih juga untuk rasa
ketidakpercayaan yang udah my beiby kasih ke aku… My beiby cewek yang kuat,
lebih kuat dari bayangan my beiby sendiri… And you wanna leave me???”
“Aku akan selalu ada disamping my beiby… Aku
lebih memillih my beiby sampai saat ini, ataupun besok, besoknya lagi, besoknya
lagi, besoknya lagi, sampai habis nafasku pun aku tetap memilih my beiby…”
“My beiby sekarang udah ngerti apa yang aku
rasakan???? Jadi my beiby pengen pergi ketika tahu perasaanku gimana???? My
beiby tahu rasa sakitku gimana????”
“Beeeeeeeiiiiiiiibbbbbb… Gak mau balas SMSku
ya, beib????”
“Beeeeeeeeiiiiiiibbbbb… My beiby kemana?????”
“I’ll always love you beib, day by day, week
by week, month by month, year by year…”
“You’ll see the proof…”
“I wanna marry you… How do I know, my beiby
gak ada kabar. Aku terkapar di rumah 3 hari my beiby gak tahu kan, sampai orang
rumah bingung.”
Setelah hampir 1
bulan Via tak membalas, akhirnya dia pun membalas karena kaget membaca kata
“terkapar”.
“Hah, terkapar kenapa?” Via membalas SMS.
“Aku juga gak tahu, beib… Dadaku rasanya
sesak, my beiby gak pernah balas SMS-ku.”
“Lho, bukannya itu salahmu sendiri, kenapa
pake acara bohong.”
“Aku gak bohong beib, aku udah ngomong apa
adanya.”
“Ya ya ya…terserah aja kalau begitu, hanya
kamu dan Tuhan yang tahu apakah itu semua benar atau hanya dusta. Aku akan
meninggalkan kota ini besok pagi, naik kereta jam 8 dan entah akan kembali
kapan. Maaf, jika selama ini aku udah bikin kamu sakit, udah bikin kamu repot
dan maaf juga kalau ada kata-kata atau sikap yang gak berkenan. Terima kasih
untuk semuanya.”
“Beeeeeeeeeeeeiiiiiiiibbbb…Kok
gitu???????????? Kamu gak serius kan?????????”
Keesokan paginya,
Via sudah siap dengan semua barang bawaannya. Dia menunggu taksi di teras, 5
menit kemudian taksi pun datang dan dia langsung meluncur ke stasiun.
Tak lama setelah sampai
di stasiun, kereta yang akan ditunggu pun tiba. Orang-orang berebut untuk masuk
ke dalam kereta, Via membaur dengan kerumunan itu. Saat dia sedang sibuk
mencari gerbong yang sesuai dengan tulisan yang ada di tiketnya, tiba-tiba handphone Via berbunyi. Ada SMS masuk.
“Beib, lihat ke arah jam 11 sekarang!”
Itu SMS dari Tito.
Via mencoba mengikuti apa yang tertulis di SMS tersebut dan ternyata tanpa
disangka Tito datang ke stasiun. Dia berdiri tepat di arah jam 11 dari tempat
Via berdiri. Dia ada dibalik pagar sebelah luar stasiun. Wajahnya yang tampak
masih ngantuk itu berusaha untuk tersenyum. Via membalas senyuman itu sambil
meneruskan langkahnya ke gerbong yang dia tuju, dia tahu waktunya tak lama
karena sebentar lagi kereta akan berangkat dan tak mungkin ada waktu untuk
berpamitan langsung dengan Tito. Via memasuki gerbong dan mencari tempat duduk.
Dia meletakkan barang bawaannya dan duduk didekat jendela. Dari situ bisa
terlihat Tito masih memandanginya. Via pun melihatnya, melihat Tito dengan
jelas karena jarak antara gerbong tempat Via berada tak terlalu jauh dengan
pagar. Rambut Tito yang berantakan, matanya yang sayu berkaca-kaca dan jaketnya
yang tampak pudar karena sering terkena panas matahari begitu jelas terlihat.
Pandangan matanya seolah-olah berkata “Jangan pergi”. Namun, kereta mulai
berjalan perlahan meninggalkan Tito yang sedang berdiri di luar pagar stasiun,
kedua tangannya memegang erat pagar dan air mata yang sudah ditahannya sejak
tadi tampak mendesak keluar, hingga mengalir membasahi kedua pipinya. Via pun
tak kuasa melihat hal itu, dia pun ikut meneteskan air mata seiring berjalannya
kereta yang bergerak semakin cepat hingga Tito sudah tak terlihat lagi. “Entah kau telah membohongi aku atau tidak,
tapi maaf, aku harus melakukan ini, aku harus pergi, karena perasaanku
mengatakan inilah satu-satunya cara yang terbaik.” Kata Via dalam hati
sambil mengusap air mata yang mengalir dipipinya.
Seperti itulah
mereka berpisah dan setelah itu tak pernah ada lagi komunikasi diantara
keduanya. Bagai embun yang menguap terkena sinar matahari pagi, hilang
mengudara membaur bersama angin.
6 comments:
hmmm.. waks, kok akhirnya gak jadi happy ending???, hehee...
waks, akhirnya kok gak happy ending??? xixixi....
"Mereka pun makan malam bersama" emang via ga ikut makan malam? kalo ikut harusnya kami.
"mahasiswa untuk malam malam bersama" salah huruf yah? :D
"Tak lama setelah Via sampai di stasiun, kereta yang akan ditunggu pun tiba" mendingan vianya ga usah disebutin lagi kan udah tau dia yang ke stasiun.
cukup itu dulu..
kapan-kapan dilanjutin lagi komentnya mba.. :D
Cerita yang sangat panjang, tapi hanya satu hal, mata ini tertuju pada tanggal dan bulan lahir Tito.
@ Mas Bud: Karena tak semua story berakhir happy :)
@ Dwi: Udah aq ganti, makasih ya editannya. Jgn bosen2. hehehe...
bunga teraakkhhhiiiiiiiiirrrrrrr.. *manyun2 nyanyi..
Post a Comment