Pernah
ga sih kalian mengalami kesialan yang bertubi-tubi?
Pasti
rasanya ga enak banget kan, ya?
Ini
terjadi di suatu hari saat aku masih duduk di bangku kuliah. Berikut tokoh-tokoh
yang ada dalam cerita ini:
Aku, itu udah
pasti.
Diah,
teman SMA yang ga sekelas tapi lumayan akrab.
Ucok,
dipanggil begitu karna dia berasal dari Medan. Orangnya “selengek’an” padahal
dia mahasiswa kedokteran. Ga kebayang deh gimana kalo dia jadi dokter beneran. Aku
kenal dia pas sama-sama ngantri audisi AFI 3 di GSP UGM.
Ari,
dia teman SMA-nya si Ucok.
Hari
sebelumnya si Ucok nelpon ke kosan.
“Cha…
besok ada kul ga?”
“Ga
ada. Mang napa?”
“Temen
SMA gue dari Cirebon lagi maen nih ke Jogja. Dia pengen jalan-jalan ke pantai. Kan
ga enak kalo cuma berdua, lo bisa kan ikutan juga? Biar rame!”
“Uhmm..gimana
ya… Oke deh, tapi gue ajak temen ya! Kan ga enak kalo gue cewe sendirian.”
“Ya
udah ajak aja, asal dia punya motor ya, soalnya gue boncengan ama temen gue.”
“Siaappp
bos!”
“Oke.
Besok gue tunggu di depan Mandala Krida jam 8 pagi.”
Abis
nerima telpon dari Ucok, aku langsung telpon Diah. Untungnya dia juga pas ga
ada kuliah.
Keesokan
harinya Diah menjemputku di kos dan kami pun langsung menuju tempat janjian. Sampai
disana Ucok dan Ari udah siap, kami pun berangkat. Tak lama kemudian temannya
Ucok menyusul, namanya Eki. Akhirnya kami berangkat menuju Gunungkidul berlima
dengan susunan:
Ari
dibonceng Ucok
Diah
dibonceng aku
Eki
sendirian
Brummm…..
Motor
melaju dengan cepat biar ga kesiangan sampai di pantai. Setelah melewati lampu
merah Jl. Wonosari tiba-tiba aku melihat 2 orang polisi di pinggir jalan. Aku panik!
Perasaanku mengatakan ini pasti ada razia.
“Priiiitt…
silakan berbelok ke kiri dan mengantri pemeriksaan!” Begitu kata salah seorang
polisi.
Tuh
kaaan bener, ada RAZIA !!! Setelah melewati 2 orang polisi tadi, sebelum
berbelok untuk mengikuti perintahnya, aku langsung menghentikan motor dan tukar
posisi dengan Diah. Kami pun masuk ke pemeriksaan.
“SIM?
STNK?” Seru salah seorang polisi.
“Ini
pak!” Kata Diah sambil menyerahkan SIM dan STNKnya.
“Bukan
kamu! Itu yang di belakang, mana SIM kamu?!” Kata polisi itu.
“Kan
yang bawa motor temen saya, pak.” Jawabku dengan hati dag dig dug.
“Tadi
kan kamu yang mengendarai motor!” Kata polisi itu lagi.
Aduuh..
mampus deh, ternyata polisi itu melihat aku dan Dia bertukar posisi. Diah
bingung, aku juga bingung.
“Sa
ya ga pu nya SIM, pak!” Jawabku terbata-bata.
Ucok,
Ari dan Eki mencoba membantu agar aku ga kena tilang, setelah melalui
perundingan yang alot dan menghabiskan waktu sekitar 1 jam. Akhirnya harus
membayar denda Rp 20.000,-. Perjalanan dilanjutkan. Kali ini aku ga berani lagi
bawa motor, jadi aku yang dibonceng Diah. Aku masih sedih karena kejadian tadi,
sepanjang jalan aku cuma diem aja, ga seceria pas berangkat. Pemandangan yang
indah dan jalan yang berkelak-kelok pun tidak aku hiraukan.
Sampailah
kami di Wonosari. Ketika melewati lampu merah, kami lihat lampu masih menyala
kuning (urutan nyalanya Hijau-Kuning-Merah) karena itu kami tidak berhenti. Sekitar
500 meter dari lampu merah, tiba-tiba sebuah motor polisi menyalip kami dan
menyuruh kami untuk ke pos. Aku dan teman-teman bingung. Sebagai warga Negara yang
baik, kami menuruti saja perintah pak polisi itu. Sesampainya di pos, kami
dituduh melanggar lampu merah. Kami semua tidak terima. Perdebatan pun terjadi.
Pos polisi itu letaknya di pinggir lampu merah, sementara lampu merahnya itu menghadap
ke jalan (membelakangi pos polisi). Semisalnya pun kami melanggar, tidak
mungkin polisi yang di pos itu mengetahui rambu tersebut sedang berwarna apa. Kami
tetap bertahan dengan argumen kami bahwa kami sama sekali tidak melanggar lampu
merah, saat kami lewat lampu masih berwarna kuning. Namun apalah daya kami, meskipun
kami berlima dan beliau itu hanya seorang diri, tapi beliau berseragam polisi. Kami
mengalah. Beliau meminta kami untuk membayar pelanggaran sebesar Rp 40.000,-/motor.
Kami tidak mau! Perdebatan yang alot kembali terjadi, akhirnya kami diminta membayar
Rp 80.000,- (3 motor).
Huffttt…
kali ini kami meneruskan perjalanan dengan tidak bersemangat, hingga akhirnya
sampailah kami di Pantai Krakal lanjut ke Pantai Kukup, Baron dan Sundak. Main
air, foto-fotoan dan minum es kelapa muda rupanya mampu mengembalikan mood baik. Kami kembali ceria. Waktu sudah
mulai sore, kami bergegas pulang sebelum gelap. Maklum, jalan yang akan kami
lewati naik turun dan berbela-belok, sementara tidak ada lampu jalan, rumah
penduduk pun jarang, kanan kiri jalan lebih banyak hutan dan jurang.
Di
tengah perjalanan hari mulai gelap, maghrib tepatnya. Tiba-tiba motor Diah
berasa “gliyur” (bahasa Jawa, maksudnya tidak seimbang; oleng) dan tak lama
kemudian….
Hwaaaa…
bocorrrr!!!
Ban
motor bagian belakang menginjak paku entah dimana. Ucok, Ari, dan Eki ikut
berhenti. Ari turun dari motornya dan menuntun motor Diah. Ucok tetap di
motornya tapi berjalan perlahan, sementara Eki mencari bengkel tambal ban. Kalo
inget kejadian itu, iiihh serem banget! Kanan kiri pepohonan, gelap, penerangan
cuma dari cahaya lampu motornya Ucok. Setengah jam berjalan, Eki kembali
membawa berita baik, menunjukkan arah bengkel yang buka. Kami semua menuju
kesana. 1 jam kami menunggu tambal ban dan perlajanan pulang dilanjutkan
kembali.
Ternyata
ada hikmahnya juga ban motor bocor, sehingga kami bisa melewati Bukit Bintang
pada malam hari. Dari sana terlihat warna-warni lampu di kota Jogja, hilir-mudik
pesawat yang landing dan take off, tampak menyatu dengan kelap-kelip
bintang di langit. Setelah melewati hari yang penuh kesialan, akhirnya kami
bisa bernapas lega di pinggiran Bukit Bintang sambil menikmati jagung bakar dan
kopi panas dengan sesekali bersenda gurau.
Pelajaran
yang bisa diambil dari cerita ini adalah jangan pernah menyerah pada keadaan. Sesulit
apapun itu, pasti akan ada kebahagiaan. Semangaattt!!!
(ceile
gaya banget ini kata-katanya, yakin lo? Hahaha)
"There will be sunshine after the rain"
1 comment:
kesimpulannya: KUDU DUWE SIM!!!
Post a Comment