15 January 2014

Sehari Sial 3 Kali



Pernah ga sih kalian mengalami kesialan yang bertubi-tubi?
Pasti rasanya ga enak banget kan, ya?

Ini terjadi di suatu hari saat aku masih duduk di bangku kuliah. Berikut tokoh-tokoh yang ada dalam cerita ini:
Aku, itu udah pasti.
Diah, teman SMA yang ga sekelas tapi lumayan akrab.
Ucok, dipanggil begitu karna dia berasal dari Medan. Orangnya “selengek’an” padahal dia mahasiswa kedokteran. Ga kebayang deh gimana kalo dia jadi dokter beneran. Aku kenal dia pas sama-sama ngantri audisi AFI 3 di GSP UGM.
Ari, dia teman SMA-nya si Ucok.

Hari sebelumnya si Ucok nelpon ke kosan.
“Cha… besok ada kul ga?”

“Ga ada. Mang napa?”

“Temen SMA gue dari Cirebon lagi maen nih ke Jogja. Dia pengen jalan-jalan ke pantai. Kan ga enak kalo cuma berdua, lo bisa kan ikutan juga? Biar rame!”

“Uhmm..gimana ya… Oke deh, tapi gue ajak temen ya! Kan ga enak kalo gue cewe sendirian.”

“Ya udah ajak aja, asal dia punya motor ya, soalnya gue boncengan ama temen gue.”

“Siaappp bos!”

“Oke. Besok gue tunggu di depan Mandala Krida jam 8 pagi.”

Abis nerima telpon dari Ucok, aku langsung telpon Diah. Untungnya dia juga pas ga ada kuliah.

Keesokan harinya Diah menjemputku di kos dan kami pun langsung menuju tempat janjian. Sampai disana Ucok dan Ari udah siap, kami pun berangkat. Tak lama kemudian temannya Ucok menyusul, namanya Eki. Akhirnya kami berangkat menuju Gunungkidul berlima dengan susunan:
Ari dibonceng Ucok
Diah dibonceng aku
Eki sendirian

Brummm…..
Motor melaju dengan cepat biar ga kesiangan sampai di pantai. Setelah melewati lampu merah Jl. Wonosari tiba-tiba aku melihat 2 orang polisi di pinggir jalan. Aku panik! Perasaanku mengatakan ini pasti ada razia.
“Priiiitt… silakan berbelok ke kiri dan mengantri pemeriksaan!” Begitu kata salah seorang polisi.

Tuh kaaan bener, ada RAZIA !!! Setelah melewati 2 orang polisi tadi, sebelum berbelok untuk mengikuti perintahnya, aku langsung menghentikan motor dan tukar posisi dengan Diah. Kami pun masuk ke pemeriksaan.
“SIM? STNK?” Seru salah seorang polisi.

“Ini pak!” Kata Diah sambil menyerahkan SIM dan STNKnya.

“Bukan kamu! Itu yang di belakang, mana SIM kamu?!” Kata polisi itu.

“Kan yang bawa motor temen saya, pak.” Jawabku dengan hati dag dig dug.

“Tadi kan kamu yang mengendarai motor!” Kata polisi itu lagi.

Aduuh.. mampus deh, ternyata polisi itu melihat aku dan Dia bertukar posisi. Diah bingung, aku juga bingung.
“Sa ya ga pu nya SIM, pak!” Jawabku terbata-bata.

Ucok, Ari dan Eki mencoba membantu agar aku ga kena tilang, setelah melalui perundingan yang alot dan menghabiskan waktu sekitar 1 jam. Akhirnya harus membayar denda Rp 20.000,-. Perjalanan dilanjutkan. Kali ini aku ga berani lagi bawa motor, jadi aku yang dibonceng Diah. Aku masih sedih karena kejadian tadi, sepanjang jalan aku cuma diem aja, ga seceria pas berangkat. Pemandangan yang indah dan jalan yang berkelak-kelok pun tidak aku hiraukan.

Sampailah kami di Wonosari. Ketika melewati lampu merah, kami lihat lampu masih menyala kuning (urutan nyalanya Hijau-Kuning-Merah) karena itu kami tidak berhenti. Sekitar 500 meter dari lampu merah, tiba-tiba sebuah motor polisi menyalip kami dan menyuruh kami untuk ke pos. Aku dan teman-teman bingung. Sebagai warga Negara yang baik, kami menuruti saja perintah pak polisi itu. Sesampainya di pos, kami dituduh melanggar lampu merah. Kami semua tidak terima. Perdebatan pun terjadi. Pos polisi itu letaknya di pinggir lampu merah, sementara lampu merahnya itu menghadap ke jalan (membelakangi pos polisi). Semisalnya pun kami melanggar, tidak mungkin polisi yang di pos itu mengetahui rambu tersebut sedang berwarna apa. Kami tetap bertahan dengan argumen kami bahwa kami sama sekali tidak melanggar lampu merah, saat kami lewat lampu masih berwarna kuning. Namun apalah daya kami, meskipun kami berlima dan beliau itu hanya seorang diri, tapi beliau berseragam polisi. Kami mengalah. Beliau meminta kami untuk membayar pelanggaran sebesar Rp 40.000,-/motor. Kami tidak mau! Perdebatan yang alot kembali terjadi, akhirnya kami diminta membayar Rp 80.000,- (3 motor).

Huffttt… kali ini kami meneruskan perjalanan dengan tidak bersemangat, hingga akhirnya sampailah kami di Pantai Krakal lanjut ke Pantai Kukup, Baron dan Sundak. Main air, foto-fotoan dan minum es kelapa muda rupanya mampu mengembalikan mood baik. Kami kembali ceria. Waktu sudah mulai sore, kami bergegas pulang sebelum gelap. Maklum, jalan yang akan kami lewati naik turun dan berbela-belok, sementara tidak ada lampu jalan, rumah penduduk pun jarang, kanan kiri jalan lebih banyak hutan dan jurang.

Di tengah perjalanan hari mulai gelap, maghrib tepatnya. Tiba-tiba motor Diah berasa “gliyur” (bahasa Jawa, maksudnya tidak seimbang; oleng) dan tak lama kemudian….
Hwaaaa… bocorrrr!!!
Ban motor bagian belakang menginjak paku entah dimana. Ucok, Ari, dan Eki ikut berhenti. Ari turun dari motornya dan menuntun motor Diah. Ucok tetap di motornya tapi berjalan perlahan, sementara Eki mencari bengkel tambal ban. Kalo inget kejadian itu, iiihh serem banget! Kanan kiri pepohonan, gelap, penerangan cuma dari cahaya lampu motornya Ucok. Setengah jam berjalan, Eki kembali membawa berita baik, menunjukkan arah bengkel yang buka. Kami semua menuju kesana. 1 jam kami menunggu tambal ban dan perlajanan pulang dilanjutkan kembali.

Ternyata ada hikmahnya juga ban motor bocor, sehingga kami bisa melewati Bukit Bintang pada malam hari. Dari sana terlihat warna-warni lampu di kota Jogja, hilir-mudik pesawat yang landing dan take off, tampak menyatu dengan kelap-kelip bintang di langit. Setelah melewati hari yang penuh kesialan, akhirnya kami bisa bernapas lega di pinggiran Bukit Bintang sambil menikmati jagung bakar dan kopi panas dengan sesekali bersenda gurau.


Pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini adalah jangan pernah menyerah pada keadaan. Sesulit apapun itu, pasti akan ada kebahagiaan. Semangaattt!!!
(ceile gaya banget ini kata-katanya, yakin lo? Hahaha)

"There will be sunshine after the rain"


1 comment:

Unknown said...

kesimpulannya: KUDU DUWE SIM!!!


VuL oF LuV